Cahaya bulan tampak temaram memasuki celah-celah rumah, dinginnya suhu hari sebagai pertanda datangnya malam gelap dengan taburan bintang di hamparan langit hitam menjadi arah pandang Atapu dan Lentara sekarang di teras rumah Atapu.
Dengan suguhan manisan mangga yang sedikit masam akibat olahan yang seharusnya dalam jangka satu hari namun hanya butuh waktu beberapa jam kali ini.
Memilih lesehan, dua insan itu duduk berhadapan dengan kaki Lentara yang berselonjoran ke arah Atapu. Tangan kanan gadis itu asik memasukan mangga ke dalam mulutnya meski diiringi dengan ringisan masam.
"Serius tangannya udah baikan?" tanya Atapu khawatir. Karena ulahnya, Lentara harus jatuh dari dahan pohon cukup tinggi. Sebagai manusia yang memanusiakan manusia lain, Atapu harus bertanggungjawab.
"Lebay, lo!" ketus Lentara.
"Tara, gue serius."
"Kaki doang yang cenat-cenut tadi kebentur kerikil, makanya pijetin yang bener," ujar Lentara. Ya, sedari tadi Atapu memang memijat kaki-kaki Lentara. Tapi itu memang kemauan Atapu sebagai bentuk pertanggungjawaban, bukan permintaan Lentara yang memaksa.
"Tadi lo teriaknya keras banget, pasti sakit, kan?" tanya Atapu lagi di sela-sela pemijatannya.
"Emang ada teriak pelan?"
"Tar."
Melihat raut wajah Atapu yang begitu tampak khawatir, Lentara terkekeh geli. Ini kali pertama Lentara melihat sisi perasa dari Atapu. Lelaki yang selalu ketus, lelaki keras kepala, dan lelaki partner debatnya itu akhirnya menunjukan sisi positif lainnya dari dirinya.
Lentara menekuk kakinya, melarang Atapu untuk memijat kakinya lagi. Jujur, pijatan itu membuatnya sedikit mengantuk.
"Kalau lo sakit nanti gue kena marah, Tar. Bukan dari Ayah lo doang, tapi Tante Keyya juga. Lo liat tadi dia udah ngamuk sama gue?" papar Atapu.
"Jadi, lo khawatir karena takut kena marah?" tanya Lentara. Entah mengapa, semakin hari sikap Atapu semakin sulit untuk ditebak. Terlebih ucapan yang sulit untuk dicerna oleh Lentara.
Atapu menggeleng.
"Terus? Karena janji?" tanya Lentara.
"Karena sayang."
🚂🚃🚃🚃
Hari apa?
Hari istimewa.
Kenapa?
Karena sekarang waktunya makhluk hobi rebahan terus menggerutu, habis Minggu terbitlah Senin. Habis libur terbitlah sekolah. Dan, habis bersantai, tibalah waktunya kembali berkutat dengan pikiran.
Di pagi dengan sinar matahari menyehatkan tubuh, upacara digelar. Menunggu usainya kegiatan rutin Senin, berbaris sesuai kelas. Beberapa murid juga berbaris dengan ugal-ugalan. Kenapa tidak?
Garuk-garuk, menahan kencing, menepuk perut yang berbunyi sebab ulah sang pemilik badan tidak mengisinya ulang adalah sedikit alasan di antaranya.
Telinga-telinga para penghuni SMA Arenta tengah fokus mendengar amanat dari sang pembina upacara. Ah, mungkin ini memang hari spesial untuk Tirga circle. Sebab, yang menjadi pembina adalah Pak Toni, guru matematika yang terus menyinggung persoalan Tirga circle selama jam pelajarannya.
"Terkenal boleh, dikenang juga boleh," ujar Bama di tengah barisan kelasnya.
"Lima puluh...." balas kompak 11 IPA 3 yang mampu mengundang atensi dari kelas yang berbaris di samping mereka.
"Lihat Monyet kelayapan di sawah.
Eh, buntutnya dikencingin katak.
Buset kalian terkenal karena ulah.
Eh, kenapa bangga banget kakak?" Senandung pantun dari Lentara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atapu Senja (Terbit)
Teen FictionSudah terbit + part masih lengkap "Ada kesempatan untuk yang berusaha." -Atapu Lembiru. "Jika diremehkan, berarti ada peluang membuktikan." -Lentara Senja. Bagaimana perasaanmu jika selalu dikenal bodoh oleh warga sekolah hanya karena sering membolo...