Tangan yang sedari tadi sibuk menarik tusuk sate beralih mengangkat ponsel yang berdering beberapa kali tetapi diabaikan pemiliki. Netranya bergerak, batinnya membaca nama yang tertera. Kemudian, terima panggilan telepon itu.
"Tau nggak? Lo ganggu orang khusyuk makan sate, mau Lo gue sate, Lareka Negisa?" ancam Lentara untuk orang di seberang sana.
"Mbatu! Bantu Reka, Mbatu!" pekik seorang gadis di seberang sana, sama sekali tidak terdengar seperti Lareka. Dari panggilan saja Lentara bisa menebak itu salah satu anggota Saegana. Mereka memiliki panggilan khusus untuk Lentara, Mbatu, Mbak Ketua.
"Dia mau mati?" tanya Lentara yang mampu menarik atensi lelaki di sampingnya. Sembarang sekali punya mulut, pasti kalimat itu yang ada di batin Atapu.
"Kucingnya dia cekokin, sekarang kucingnya kejang-kejang, Mbatu!"
Lentara dengan malas memutuskan panggilan itu. Kemudian memasukkannya di saku.
"Bocah-bocah Lo panik kenapa Lo santai begitu?" tanya Atapu tentu heran. Mendengar kata mati dari mulut Lentara cukup membuat Atapu berpikir yang tidak-tidak. Mulut gadis itu bisa dipercaya, tapi tidak dapat dipercayanya lebih banyak.
"Kebiasaan itu mah. Reka punya hobi ngitung nyawa kucing, kalo kucingnya udah kejang-kejang yang panik emang yang lain. Soalnya, Reka kalo kucingnya udah begitu yang sekarat bukan kucingnya lagi, tapi anggota lain. Dibanting semua nyawa mereka." Sembari mengatakan hal panjang tentang Lareka si pecinta kucing, Lentara tetap santai menghabiskan sate traktiran Atapu.
"Han Kendajas yang sepertinya tertarik dengan Lareka, juga nggak jauh beda. Beda alur aja. Se-pendiam kayak Kenda bisa bahaya, kalo dia marahan sama kucingnya, tuh kucing dimasukin kresek terus diobral," ucap Atapu mengingat konyolnya teman paling diam di circle-nya.
"Ta," panggil Lentara.
Atapu yang lima detik tadi menatap tajam punggung ibu-ibu yang mencoleknya lantas kembali menatap Lentara. "Kenapa? Mau nambah?"
Lentara menggeleng. "Lo nggak kepikiran permintaan Kak Laska?" tanyanya.
Atapu mengernyitkan dahi, bukankah sikap Lentara saat di depan mereka tadi terlihat tidak menggubris permintaan untuk menjauhi Atapu? Lantas, kenapa sekarang ia pertanyakan lagi?
"Permintaan Kak Laska atau ungkapan Mas Akai yang Lo pikirin?" tanya Atapu.
"Mas Akai? EH, TA!" Lentara kontan menepuk pundak Atapu yang mampu membuat sang empu terlonjak kaget.
"Monyet!" umpat Atapu, namun tak sekeras biasanya. Bisa rusak image-nya di tempat kedai sate ini.
"Lo sadar nggak sih, ucapan mereka semua tadi persis sama ancaman orang-orang kekar ke gue sama Rean waktu itu? Inti dari ucapan mereka itu... jauh," ucap Lentara berusaha membuka pikiran Atapu untuk mengarah seperti pikirannya saat ini.
Atapu tampak mengingat-ingat, seperkian detik ia mengangguk. "Ya, Lo harus jauhin gue? Maksud Lo Mas Akai dan Kak Laska sebetulnya udah tau dalangnya, sampai tau permainannya, 'kan?" tebak Atapu.
Lentara mengangguk. "Tapi, tanpa mereka sadari, mereka jadi pion. Dan... coba Lo bikin clue, berpikir kalo Lo adalah dalangnya. Clue yang diambil dari ancaman itu sendiri," pinta Lentara. Ia meneguk es teh hingga tandas lalu kembali menatap Atapu. Sesekali kedua netranya diam-diam memperhatikan sekitar.
"Jauhin atau mati?"
Lentara mengangguk. "Untuk menjauhi seseorang harus ada kedekatan dulu, kalo nggak dekat kenapa harus ada kata jauh? Untuk mati harus ada penyebab, di dunia punya hukum sebab dan akibat, apalagi sebuah ancaman, pasti punya penyebab kenapa dalang melakukan itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Atapu Senja (Terbit)
Teen FictionSudah terbit + part masih lengkap "Ada kesempatan untuk yang berusaha." -Atapu Lembiru. "Jika diremehkan, berarti ada peluang membuktikan." -Lentara Senja. Bagaimana perasaanmu jika selalu dikenal bodoh oleh warga sekolah hanya karena sering membolo...