00

54 2 0
                                    

"Belajar dari masa lalu. Hiduplah di masa sekarang. Merencanakan masa depan." Pepatah bilang, itu adalah tiga cara untuk menggunakan waktumu dengan baik.

Jalani apa yang ada di masa sekarang. Fokus di masa sekarang. Nikmati masa sekarang. Karena kalian tidak akan pernah tahu hal apa yang akan hilang nanti di masa yang telah berkembang dan berubah.

"Valery," panggilnya, mengalihkan pandanganku dari kaca jendela samping. "Mau bakpao?"

Tau-tau dia sudah memegang bakpao berwarna putih tersebut— ia beli dari pedagang asongan yang keliling di dalam kereta ini. Aku tersenyum padanya sebelum ku ambil satu dari dua bakpao yang ia pegang itu. Kulihat terdapat remahan bakpao di jaket bahan berwarna cokelatnya, jadi kubersihkan butiran itu hilang takut-takut mengotori. Ia ikut tersenyum karena tindakanku barusan dengan bakpaonya yang masih menempel di bibirnya.

Aku masih tidak mengerti kenapa aku mau duduk di kursi ini, bersisian dengannya, dalam perjalanan yang memakan waktu 4 jam. Padahal aku lebih senang berbaring di rumah—menonton TV sambil memakan camilan. Padahal juga niat kita hari ini adalah melanjutkan misi dalam permainan kita yang dimulai di sekolah. Dua orang temanku yang lainnya akhirnya harus mengikis rasa antusias mereka karena telah menunggu-nunggu hari ini.

Acara dadakan yang terlupakan olehnya dan tiba-tiba saja aku segera ingin menolong dirinya. Aku memang tak bisa menahan rasa empatiku untuknya.

"Dua atau tiga tahun yang akan mendatang, pasti pedagang-pedagang asongan ini udah gak bakal dibolehin lagi untuk berjualan di dalam gerbong kereta," ucapnya sambil mencomot-comoti kecil adonan dengan tekstur seperti kapas tersebut.

"Tahu dari mana?"

Ia terlihat menarik nafasnya, "Peraturan pasti akan diperbarui lagi demi kenyamanan penumpang. Lihat aja tadi di gerbong sebelah, banyak dari mereka yang duduk di lantai gerbong dan karena dari mereka sampah-sampah berserakan sembarangan disini. Meski emang bukan pedagang itu yang salah, malah pembelinya yang gak punya kesadaran."

Ironinya,  mereka yang tak bersalah akan dicabut dari tatanan masyarakat karena dianggap sebagai pemicu atau suatu hambatan lagi dalam pembelajaran kedepannya.

"Terus gimana nanti dengan sumber penghasilan mereka?" tanyaku.

"Mereka harus putar otak lagi, karena manusia harus bisa menemukan solusi dan beradaptasi dengan perubahan. Kita gak bisa untuk tetap stay di waktu sekarang tanpa adanya kemajuan, kan?" ia melirikku, seperti meminta bahan pro dari pendapatnya.

Aku mengangguk, lalu ku mulai memakan bakpao pemberiannya. "Tapi gak semua perubahan itu berakibat baik untuk manusia, betul, kan?"

Ia hanya terdiam setelah menelan isian makanan yang ada di kerongkongannya. Entah apa yang mengkelabuti pikirannya kini. Ia hanya menatap bakpao putih yang ada di genggamannya itu, "Menurut lu efek apa yang bakal dikasih ke gue karena perubahan-perubahan orang tua gue nanti, Val?"

Aku menghentikan suapan kedua ku. Mulai menaruh pandang pada cowok yang ada disampingku ini. Aku merasa tidak enak akan suasana yang tiba-tiba mulai berubah sekarang. "Everything just will be fine. Mungkin gak baik maupun gak buruk juga buat lu nantinya. Cuma.... stabil?"

Ia mengeluarkan suara tawa renyahnya sembari memandangku. Lalu, mulai menghantarkan sengatan khusus dari telapak tangannya akan elusan lembut di rambut kepalaku.

"Ah, berantakan!" omelku.

Tak terasa tahu-tahu suara mesin kereta mulai mengecil dan mulai menampilkan ruko-ruko dan orang-orang baru di sekeliling samping badan kereta.

Kami berdua sama-sama berdiri. Ia membantuku menurunkan koper yang kubawa dari bagasi atas lalu kami sama-sama keluar dari pintu kereta.

"Orang tua lu masih bisa ngasih kasih sayang segitu banyaknya meski mereka cukup sering pergi jauh," ucapnya lagi setelah kita benar-benar keluar dari area rel kereta.

Aku cukup diam karena aku paham mengapa dia jadi mulai membanding-bandingkan.

Ia kemudian tiba-tiba mulai menggandeng tanganku. Barangkali mungkin takut aku kesasar atau terbawa oleh arus lautan kegegasan manusia-manusia ini. Kutatap genggaman yang anehnya terasa hangat itu, beberapa detik kemudian ia memusatkan pandangannya kepadaku, "Makasih, ya, Val, udah nemenin gue ke Bandung untuk nemuin orang tua gue."

Senyumannya kembali membuatku terjatuh lagi, terpaku akan kemanisan dari lengkungan garis itu. Apakah ia sadar akan apa yang kurasakan saat ini, cuma gara-gara senyuman sepele itu? Atau dari hangat genggamannya pada telapak tanganku? Atau bahkan kehadirannya yang ada di sisi ku ini?

Harusnya di saat ini aku mulai mengatakan padanya bahwa berterima kasihnya diriku karena ia sudah terlahir dan selalu menemaniku. Harusnya aku terus menjaganya agar ia tetap berada dekat denganku dan semua orang. Aku tak menyadari makna dirinya saat itu, karena kupikir yang dimaksud dengan 'perubahan' tidak termasuk akan konsekuensi yang harus dicuri.

Jadi, syukuri apa yang kalian punya dan kalian rasakan saat ini. 







Aku sudah berkali-kali memutari jalan yang sama dan melewati rumah kosong yang sama. Entah pemiliknya memang sudah pindah atau pemiliknya berusaha tak mau berkontak mata denganku. Kalau kalian bertanya kenapa tak aku ketuk pintunya saja? Alasannya adalah aku takut. Aku tak punya keberanian. Kalau-kalau tatapan sedingin esnya yang malah menjamuku.

Aku sudah berkali-kali juga pergi ke tempat yang sama, yang dulu pernah sering ku kunjungi saat bersamanya. Halte bus, sekolah, kedai roti bakar, minimarket biasanya ku membeli cokelat bersamanya, dan taman tempat berkumpul kita. Menunggu dengan tatapan penuh harap, kalau-kalau saja aku berpapasan lagi dengannya. Namun, hanya orang asing baru lainnya yang berpapasan denganku.

Ironinya, untuk memastikan dia baik-baik saja aku harus menggunakan perantara orang dulu. Mereka selalu mengatakan kalau dia baik-baik saja. Itu sudah cukup walau terkadang suka terbesit bagaimana pemandangan 'baik'-nya dia itu. Mencoba menanyakan dimana keberadaanya dia yang sekarang, mereka menjawab dengan ketidaktahuan.

Lalu, bagaimana mereka bisa tahu kabarnya? Lewat handphone. Kejam, kan? Bagaimana dia bisa dengan leluasa membalas segala pesan dan pertanyaan teman-temannya, sedangkan kontakku malah ia kubur.

Aku sudah tidak pernah melihatnya lagi, selama 2 tahun ini.

Selama 2 tahun ini, aku hanya bisa bertanya-tanya, berandai-andai, sekaligus mencoba untuk ikhlas. Meski susah dan nyatanya sampai sekarang aku masih tidak bisa. Tidak bisa.

Dia pergi.

Menghilang.

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang