"Kenapa gue berharap ini bukan akhir dari segalanya, Ayla."
-Alano Putra Mahendra
***
Alan mengetuk pintu kamar Ayla. Sudah hampir pukul 10 tapi perempuan itu tidak juga keluar dari kamarnya.
"Ayla," panggilnya dengan nada sedikit keras.
"Lo nggak kerja? Ini udah hampir tengah hari."
Tidak ada respon, perlahan Alan membuka pintu yang tidak terkunci itu. Dahinya mengernyit melihat kamar Ayla yang masih gelap dan juga perempuan itu yang masih bergelung di bawah selimut.
"Woy, Udik." Alan menyentuh tubuh Ayla. Dibukanya selimut itu hingga menampakkan wajah Ayla.
Alan terdiam melihat wajah polos Ayla. Perempuan itu tidak mengenakan hijab. Alan kembali mengingat kejadian waktu itu, kejadian di mana ia tidak sengaja melihat Ayla tanpa hijab di dapur.
Uhuk, uhuk, uhuk.
Alan kembali ke dunianya. Melihat Ayla yang kini sudah bangun. Dia berusaha meraih hijabnya yang terlampir di atas nakas. Setelahnya Alan berbalik, membiarkan Ayla mengenakan hijab itu.
"Lo nggak kerja?" tanya Alan masih dengan posisi membelakangi Ayla.
"Udah," kata Ayla, Alan segera berbalik. "Aku kurang sehat, Lan. Kepalaku pusing."
Alan mendekat tangannya menyentuh dahi Ayla. "Panas. Lo demam."
Alan keluar dari sana meninggalkan Ayla yang masih terus memejamkan matanya karena rasa pusing di kepalanya. Karena hujan-hujanan semalam dia jadi begini.
Tidak lama Alan kembali dengan semangkuk bubur dan air putih di atas nampan. Alan membuka tirai jendela agar cahaya masuk ke dalam kamar Ayla.
"Makan dulu," kata Alan membantu Ayla duduk. Dia meletakkan bantal di belakang tubuh Ayla agar perempuan itu merasa nyaman.
Ayla menatap malas bubur yang Alan bawa. Tapi dia tetap mengangguk. "Iya, nanti aku makan."
Terdengar decakan dari Alan. Dia mengambil kembali bubur itu. "Buka mulut lo."
"Alan, aku bisa sendiri." Ayla berusaha meraih bubur itu dari tangan Alan.
"Nggak percaya gue. Sekarang buka mulut lo atau gue aduin ke budhe kalau lo sakit."
Ayla cemberut, dia tidak ingin Alan memberitahu Erni kalau dia sedang sakit, atau nanti perempuan itu akan khawatir dengannya.
Alan meniup-niup bubur yang masih mengeluarkan asap sebelum ia berikan pada Ayla. Suapan pertama berhasil Ayla terima, meski rasanya begitu pahit.
"Kenapa? Nggak enak?" Melihat Ayla yang kesusahan menelan bubur, Alan memberinya air minum.
"Alan, udah," pinta Ayla dengan wajah memelas membuat Alan mau tidak mau mengiyakan.
Dia memberi Ayla obat penurun panas yang selalu tersedia di apartemen ini. Dengan hati-hati Alan membantu perempuan itu meminum obatnya.
"Sorry, karena gue lo jadi sakit."
"Nggak, kok, Lan. Mungkin memang udah saatnya sakit." Dengan bibir pucatnya Ayla tetap tersenyum. "Lagi pula sakit itu penggugur dosa."
"Kamu buat sendiri buburnya?"
"Gue?" tunjuknya pada diri sendiri. "Masak air aja gue nggak bisa, boro-boro bikin bubur. Gue beli di bawah."
"Makasih, Lan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Alan : Mendadak Jadi Suami (Tamat)
SpiritualKehidupan Ayla Nur Afifah berubah jungkir balik karena dia dituduh tidur dengan seorang laki-laki yang ia kenal hanya sebatas namanya saja. Menjalani hari-hari sebagai istri seorang laki-laki bermulut pedas, sepedas bon cabe bernama Alan. Sifat mer...