"Setiap orang bisa salah, dan derajat kamu lebih tinggi jika kamu memaafkan kesalahannya."
-Ayla Nur Afifah
***
Ayla menatap kafe di depannya dengan gusar. Di sebelahnya Yura juga melakukan hal yang sama. Mereka melakukan hal nekat kali ini.
"Yakin, La?"
"Bismillah, deh, Yur."
Kedua perempuan itu masuk ke dalam. Mata Ayla menelisik seisi kafe mencari keberadaan seseorang.
Di meja paling ujung Ayla melihat Mariska duduk sendiri. Dia mengajak Yura untuk menghampiri Mariska yang memintanya untuk bertemu.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumusalam, Ayla," jawab Mariska.
Dia terlihat senang dengan kedatangan Ayla dan dua anaknya, anak-anak Alan. Tangannya yang hendak menggendong Zayyn berhenti. Dia menatap Ayla.
"Boleh?" tanyanya.
Ayla mengangguk, dia memberikan Zayyn pada Mariska. Terlihat sekali wajah Mariska yang bahagia.
"Ayla, panggil saya mama, saya juga mama kamu sekarang."
"Iya, Ma."
"Siapa namanya?"
"Zayyn Ishan Mahendra."
"Kalau yang ini?" Mariska memegang tangan mungil Zaima yang berada di gendongan Yura.
"Zaima Ishana Mahendra, Ma."
Mariska terlihat senang bisa bermain bersama cucunya. Dapat Ayla rasakan kasih sayang seorang ibu dari Mariska. Meski dia tahu apa yang Mariska lakukan dulu pada suaminya.
Mariska menyerahkan Zayyn pada Ayla kini gantian menggendong Zaima. Ayla tersenyum senang melihat Zaima yang terlihat nyaman di pangkuan Mariska. Bisanya anak itu itu tidak mau bersama dengan orang yang baru dilihatnya.
"Mama senang kamu mau datang, Ayla. Mama yakin kamu pasti datang."
"Maaf atas sikap Alan, Ma."
Mariska menghela napasnya. "Mama yang salah."
Yura menjadi penyimak antara mertua dan menantu ini. Dia tidak ingin ikut campur dengan urusan mereka.
"Dulu mama gelap mata dan meninggalkan mereka. Dan sekarang mama mendapatkan ganjaran atas perbuatan mama."
Mariska menghapus air matanya yang entah kapan turun. Dia menyentuh tangan Ayla.
"Alan itu dulu anak manja. Dia nggak akan bisa tidur kalau nggak di samping mama."
"Kenapa mama meninggalkan Alan, Ma? Bukannya mama sayang sama dia?" Entah keberanian dari mana Ayla bertanya demikian. Rasa penasarannya mengalahkan rasa segannya pada Mariska.
Mariska tersenyum pahit. Pandangannya menerawang jauh, jauh kembali ke masa lalu.
Saat itu dia begitu labil. Hidupnya begitu bahagia. Johan dan ketiga anak laki-lakinya begitu menyayangi Mariska.
Tapi godaan akan keinginan untuk menjadi lebih membuatnya kehilangan segalanya. Mariska dengan tega pergi. Dia lebih memilih untuk melanjutkan pendidikannya agar karirnya menjadi lebih baik lagi.
Dia pergi meninggalkan mereka. Tujuh tahun berlalu dan kini dia menyesali segalanya.
"Mama menyesal, Ayla. Karir tidak lebih penting dari orang yang kita sayangi. Mereka yang nantinya ada di hari tua bukan karir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alan : Mendadak Jadi Suami (Tamat)
EspiritualKehidupan Ayla Nur Afifah berubah jungkir balik karena dia dituduh tidur dengan seorang laki-laki yang ia kenal hanya sebatas namanya saja. Menjalani hari-hari sebagai istri seorang laki-laki bermulut pedas, sepedas bon cabe bernama Alan. Sifat mer...