"Resiko terbesar dari mencintaimu ialah, luka yang amat besar juga."
-Ayla Nur Afifah
***
Ketukan di pintu membuat Ayla yang sedang duduk di kamarnya beranjak. Erni sedang pergi ke rumah Lastri karena bibinya itu sedang sakit.
Ayla membuka pintu depan. Tubuhnya mematung seketika melihat siapa yang datang malam-malam begini.
"Ay." Suara itu terdengar lirih.
Ayla tetap diam, dia tidak menutup atau bahkan pergi dari sana. Tatapan Alan padanya sarat akan kerinduan.
"Ayo, pulang, Ay."
"Ngapain kamu di sini?"
Mata Alan berkaca-kaca mendengar perkataan Ayla. Ayla benar-benar tidak menginginkan kehadirannya lagi.
"Gue mohon ayo balik, Ay."
Ayla mengelap sudut matanya. Dia menggeleng cepat. "Alan kamu harus pergi. Sebentar lagi pernikahan kamu sama Kasih. Nggak baik keluyuran."
Alan mencoba menyentuh tangan Ayla, tapi dia kalah cepat dengan Ayla yang menyembunyikan tangannya di balik tubuhnya.
"Ay, please, percaya gue."
"Apa lagi yang harus aku percaya, Lan? Semua udah jelas. Dengan mata kepalaku sendiri aku lihat bukti-bukti itu."
Alan menggelengkan kepala. Air matanya jatuh. Alan tidak memperdulikan harga dirinya di depan Ayla lagi. Dia benar-benar sudah menunjukkan sisi lainnya pada Ayla.
"Lo juga sama seperti mereka, Ay. Lo nggak percaya gue."
"Alan udah malem, aku mau tidur."
Ayla dengan cepat menutup pintu rumahnya. Disentuhnya dada itu yang teramat sakit. Hatinya benar-benar tidak bisa berbohong, Ayla masih menginginkan Alan.
"Ayla, di saat gue hanya punya lo, lo juga pergi ninggalin gue," kata Alan dengan menatap nanar pintu di depannya.
Ayla terduduk di depan pintu. Dia menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Alan.
"Gue, nggak mau kehilangan lo, Ay."
Petir menyambar dengan kuat, hujan turun dengan lebatnya. Ayla mengintip keluar. Alan masih berdiri di halaman rumahnya dengan tubuh yang sudah basah kuyup.
Laki-laki itu memandang penuh harap rumah Ayla. Berharap juga orang di dalamnya keluar dan mau kembali padanya.
Ayla langsung menutup tirai jendela. Dia tidak ingin melihat Alan yang seperti ini. Hatinya sakit melihat sisi Alan yang ini.
"Resiko terbesar dari mencintaimu ialah, luka yang amat besar juga."
***
Bunyi patahan hati itu masih terdengar jelas di telinga Ayla. Setiap mengingatnya air mata pasti turun dari matanya. Alan benar-benar menepati janjinya, janji untuk membuat Ayla hancur.
Ayla menghapus air matanya yang tiba-tiba turun. Dia memaksakan senyum yang jelas ketara sekali itu palsu.
"Ayla, udah waktunya istirahat!" pekik Mela dari arah dalam.
Ayla masuk ke dalam ruang istirahat. Mela yang melihat Ayla sedang tidak baik-baik saja mendekat.
"Lo sakit?"
"Nggak," jawab Ayla cepat. Padahal rasanya tubuh Ayla benar-benar tidak baik-baik saja. Ayla tengah menahan pusing yang sejak tadi ia rasakan.
"Muka lo pucet, La. Izin aja lah ngapain dipaksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alan : Mendadak Jadi Suami (Tamat)
SpiritualeKehidupan Ayla Nur Afifah berubah jungkir balik karena dia dituduh tidur dengan seorang laki-laki yang ia kenal hanya sebatas namanya saja. Menjalani hari-hari sebagai istri seorang laki-laki bermulut pedas, sepedas bon cabe bernama Alan. Sifat mer...