Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Masih di hari Minggu tapi pada waktu sore hari, Yoel lagi merenung sendirian di belakang rumah, menikmati rokok hasil kerja kerasnya, alias itu rokok hasil ia berusaha mendekatkan James dengan Arin. Meskipun usahanya akhirnya ketahuan.
Membicarakan soal Arin. Yoel merasa bersalah pada gadis itu. Dia memang bodoh, sudah memprediksi hal ini sejak awal tapi terus saja melaksanakan apa yang diperintahkan James padanya. Kalau kata Joel, itu bukan karena upahnya adalah sebungkus rokok tiap ia melakukan perintah James, melainkan karena Yoel nyaman berada di dekat Arin sehingga ia selalu ingin bersama Arin.
Dulu Yoel menyangkalnya, tapi sekarang ia mengakuinya.
Yoel merasa hampa dengan hubungannya dengan Arin saat ini, begitu canggung dengan sang gadis yang nampak berusaha menjauhinya. Padahal Arin adalah sosok lembut--eh maksudnya bukan lelembut--dia adalah sosok lemah lembut yang tak pernah mengabaikan seseorang.
Tapi karena Yoel--ah sudahlah.
"Nyebat kok rokok hasil kerja haram," sindir Joel yang tetap saja mengambil sebatang rokok dari bungkus milik Yoel.
"Bacot lo!" seru Yoel.
Joel terkikik sedikit lalu menyalakan rokoknya. Ia segera menyesapnya dan menghembuskan asap rokoknya yang kemudian menguar di udara. "Mikirin Arin?" tanyanya penasaran. Dia udah sejak tadi lihatin adiknya melamun di belakang rumah.
"Sok tau!"
"Emang tau, gue 'kan kakak lo."
"Ga sudi gue jadi adik lo."
"Terima aja fakta kalau gue emang kakak."
"Ck!"
Yoel tak bisa lagi menyangkal. Karena memang faktanya Joel lahir lebih dulu darinya. Tapi dia tetap tidak mau kalau Joel yang jadi kakak. Kenapa sih papanya tidak menaruh namanya diatas Joel saat membuat kartu keluarga? Kenapa namanya harus paling bawah sehingga dialah yang terbungsu di keluarga?
"Beneran mikirin Arin?" Joel kembali bertanya saat melihat wajah Yoel yang semakin sepet kayak jambu kalau belum matang.
Yoel tak menjawab, hanya mendengus lelah yang membuat Joel mengerti bahwa jawaban dari pertanyaannya adalah benar.
"Samperin lah!"
"Gue aja ga dianggep, gimana mau nyamperin?"
"Ajak ngobrol pelan-pelan."
"Dia gamau diajak ngobrol."
Joel diam, susah sekali memberi saran pada adiknya yang ga mirip sama dia ini. Lama-lama dia tonjok aja nih bocah, tapi takut uang sakunya dipotong sama mamanya. Dia mending babak belur ditonjok Yoel daripada uang sakunya kepotong gara-gara dia nonjok Yoel duluan.
"Bantuin gue!" seru Yoel pelan.
"Apa?" pertanyaan Joel ini bukan mengarah kepada sebuah pengulangan, melainkan keterkejutan. Ia mendengar apa yang dikatakan Yoel, hanya ingin memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.