Lima Puluh Empat

13 1 0
                                    

"Seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidup saya, tidak akan pernah saya biarkan untuk pergi" — Kang Dhika.

***

"Ma?" panggilku seraya menuruni tangga.

"Gimana, Ma? Mama udah siap belum?" tanyaku pada Mama mertua yang sedang duduk diruang tamu sambil membaca sebuah majalah.

"Oh, Lisa," sahut Mama mertua sesaat menoleh padaku, lalu kembali menaruh majalahnya diatas meja.

"Mama kok belum siap-siap?" bingungku yang telah duduk disampingnya. "Mama jadikan temenin Lisa ke toko buku?"

Aku hari ini berniat untuk datang ke salah satu toko buku yang ada di Palembang dengan ditemani Mama mertua.

Aku sudah cukup lama tidak ke sana. Jika aku tidak membaca dan tidak membeli, atau bahkan tidak mengunjungi toko buku dalam waktu yang lama, pasti rasanya ada sesuatu yang janggal. Aku dulu sangat suka sekali membaca buku. Jadi, hampir setiap bulan atau beberapa kali dalam setahun aku akan membeli buku.

Tapi anehnya, aku kurang suka membaca buku pelajaran. Membaca buku seperti itu, harus tergantung suasana hati. Tapi, jika aku membaca sebuah cerita yang dikarang atau cerita nyata yang ditulis lalu di bukukan, aku pasti sangat suka. Ketertarikan untuk membacanya selalu saja muncul.

Aku juga sebelumnya telah meminta izin kepada Kang Dhika untuk pergi ke toko buku bersama Mama. Awalnya hanya ingin sendiri. Namun, Mama mertua menawarkan diri untuk menemaniku. Dan Kang Dhika serta Papa mertua sangat setuju.

Ayah, ibu dan anak tersebut terlihat sangat tidak ingin membiarkan aku untuk pergi sendirian. Ya, harus selalu ada yang menemani. Aku rasa, jika tidak ada orang satu pun yang bisa menemaniku saat ingin keluar, Kang Dhika akan menyewa satu bodyguard khusus untuk diriku. Mungkin.

"Jadi, Mama ngga siap-siap nih? Atau Lisa-nya aja yang kecepetan buat pergi?" ujarku masih menanyakan hal yang sama. Menanyakan alasan apa yang membuat Mama mertua masih duduk santai, sedangkan kami berdua mempunyai sebuah janji untuk pergi bersama.

"Duh, gimana ya, Lis," ujar Mama dengan sedikit mengubah posisi duduknya.

"Kenapa?"

"Kayaknya Mama ngga bisa temenin kamu buat pergi ke toko buku deh," jawabnya.

"Loh, kenapa? Emangnya Mama sakit?" tanyaku dengan nada khawatir. Karena sedari tadi, Mama mertua tidak mengeluhkan atau tidak menunjukkan gejala orang yang sakit. Jadi, aku bingung kenapa dia tidak jadi pergi bersamaku saat ini. Atau, dia menyembunyikannya dengan sangat baik?

"Ya, gitu deh, Lis," balas Mama mertua.

"Maksudnya ya gitu, gimana?" Aku dibuat bingung oleh jawaban yang diberikan Mama mertua.

"Mama juga ngga tau, Lis. Tiba-tiba aja, kepala Mama sedikit pusing. Mama takutnya, waktu kita udah sampe di toko buku. Kepala Mama malah tambah pusing, dan Mama jadi ngerepotin kamu nantinya," jelas Mama mertua.

"Pusing? Di bagian mananya yang pusing, Ma? Sini, nanti Lisa pijatin," tawarku bernada khawatir.

"Ah, ngga usah, Lis," tolak Mama mertua dengan lembut. "Mama sekarang udah baik-baik aja kok,"

"Mama udah minum obat?"

"Udah, tadi belum lama,"

"Mending istirahat di kamar aja, Ma. Jangan duduk disini, nanti pusingnya ngga hilang lagi," saranku.

"Enakan duduk disini, dari pada tiduran di kamar. Kalo di kamar bikin Mama suntuk. Bukannya sembuh, nanti jadi makin parah lagi,"

"Oh, yaudah deh kalo itu maunya Mama," kataku. "Kalo gitu, Lisa naik ya," Aku berdiri dari tempatku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ikhwan Dalam MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang