Tiga Puluh Dua

134 18 1
                                    


"Lis, kamu gantungin anak orang lho Lis," ujar Ayah.

Dr. Dhika dan keluarganya sudah pulang setelah shalat ashar berjamaah dirumahku. Sungguh, aku tidak enak hati dengan keluarganya. Aku memberi kesan pertama dengan tidak baik. Memang benar dia datang dengan memberi tahu ku terlebih dahulu, tapi dia tidak memberi tahu ku bahwa dia akan melamar ku seperti ini.

Apakah aku salah menggantungkan jawabanku untuknya?

Jika dia lebih dulu memberitahuku maksud yang sebenarnya, mungkin aku akan jawab detik itu juga. Tapi ini berbeda, dia tidak memberitahuku dengan jelas.

Ada perasaan bersalah didalam benakku. Karna tidak menjawabnya detik itu juga.

"Iya, Yah. Lisa tau itu," jawabku. Aku, Ayah, Abang dan Mbak Khan sedang duduk diruang tamu sekarang.

"Kenapa ga langsung jawab aja, dek?" tanya Abang.

"Ga bisa, Bang. Ini berat buat Lisa. Abang tuh ga ngerti," ucapku kesal.

"Coba kamu ceritain, Lis. Kenapa kamu mau jawabnya besok? Mungkin dengan kamu cerita, itu akan buat kamu lebih lega," saran Mbak Khan.

"Harus banget nih Lisa cerita?" tanyaku.

"Harus, Lis. Ayah juga mau tau kenapa kamu gantungin anak orang,"

"Ayah.. Bisa ga, ga usah ngomong 'gantungin anak orang'?" tanyaku. "Itu buat Lisa ngerasa bersalah banget,"

Aku merasa terpojokan oleh keluargaku sendiri atas ketidak adanya jawaban dariku.

"Emang kamu salah, Lis," ujar Bang Harun.

"Mas..." tegur Mbak Khan.

"Iya, Lisa tau Lisa salah. Lisa gantungin anak orang. Lisa tau. Lisa tau itu, Bang. Lisa sadar. Ga usah diperjelas," kataku.

"Cerita aja Lis, kalo mau cerita. Kita akan dengerin sampe habis," ujar Mbak Khan.

"Jadi,.."

Aku menceritakan semuanya pada mereka. Mulai dari aku yang memimpikan tentangnya sejak tahun kedua masuk kuliah. Aku juga menceritakan tentang perampokan di bank, ketika aku ditolongnya dengan sangat lembut.

Dia yang datang dengan mimpi yang berbeda dari sebelumnya. Dan yang terakhir ketika aku dan dia sangat sering bertemu, mulai dari tempat pernikahan Ria, pernikahan Mbak Khan dan Bang Harun. Dan masih banyak lagi tempat yang menjadi saksi bisu pertemuan tidak sengaja oleh aku dan Dr. Dhika.

"Kenapa dia bisa ada dalam mimpi, Lis?" tanya Ayah.

"Lisa juga ga tau, Yah. Dia juga ga ngejelasin itu sama Lisa,"

"Kok bisa sih, Lis?" bingung Mbak Khan.

"Mungkin cuma dia satu-satunya orang yang bisa kayak gitu," ujarku.

"Hebat dong, Lis," ujar Abang.

"Ga tau ah, Lisa ga mau mikirin tentang itu," jawabku. "Sekarang giliran Lisa yang mau tanya sama Abang, sama Mbak Khan,"

"Ayah ga Lis?" tanya Ayah.

"Ayah ga usah. Lisa ga curiga sama Ayah. Lisa percaya sama Ayah. Lisa tau ini semua kerjaan Abang," aku memberikan tatapan sinis pada Abang.

"Ga dek. Bukan Abang,"

"Terus siapa?!" kesalku.

"Ya, ga tau,"

"Tanya aja, Lis. Ga pa-pa. Kalo emang mau ditanyain, tanyain aja. Selagi Mbak sama Mas Harun bisa jawab, kami akan jawab," ujar Mbak Khan.

"Tuh, harusnya Abang tuh kayak Mbak Khan. Ga suka ngajak ribut,"

Ikhwan Dalam MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang