7. Siapa yang salah?

5.2K 398 10
                                    

"Tolong buangin ini, ya. Nanti, setelah guru masuk dan aku ngasih kode. Lakukan sendiri, jangan suruh orang lain," titah Bianca pada Sien 10 menit lalu setelah memasukkan lipatan bungkus keripik ke dalam saku kemeja gadis itu.

"Buangnya harus di tong sampah toilet lantai dua. Jangan tempat lain."

Semua perintah itu Sien laksanakan sesuai permintaan tanpa berani membantah sedikit pun. Padahal, kalau pun ia membuang sampah di tempat lain, Bianca mungkin saja tidak akan tahu. Mungkin.

Dikeluarkannya sampah plastik itu dari dalam saku, dibuka, kemudian diremas penuh emosi. Mengingat kejadian beberapa saat lalu, amarahnya yang yang sempat tertahan rasa takut, meluap seketika. Matanya yang hanya bisa terpejam di depan Bianca kini membelalak lebar.

Sampah itu ia jatuhkan ke lantai. Menginjaknya penuh nafsu seolah itu adalah telapak tangan Bianca. Mulutnya yang sudah bergetar tak mampu lagi membendung dendamnya yang tidak bisa ia luapkan di depan sahabatnya itu.

"Anjing! Bangsat! Bianca bangsat!" umpat Sien sambil menginjak-injak sampah plastik di lantai keramik makin keras.

"Kalau bukan gara-gara dia anak konglomerat, najis! Najis banget temenan sama dia! Dasar anak orang gila!"

Belum juga merasa puas, Sien menendang tong sampah sekuat tenaga hingga benda itu terlempar dan menabrak dinding bercat putih di sana, yang mengakibatkan isi dalamnya berserakan.

"Oh! Aku lupa! Kamu bisa masuk ke sini karena jalur orang dalam. I am so sorry, honey, "

"Jadi, aku mungkin harus msklum sama kecerdasan kamu yang di atas rata-rata itu. Gitu kah?"

Hinaan halus itu kembali terngiang, merayap bagai serangga yang membuat telinganya gatal. Sien mengusap indera pendengarannya itu kasar dan berulang. Tidak cukup, ia menggaruk benda bertulang lunak itu dengan kuku panjangnya yang belum sempat dipotong.

Sien terus menggaruk sampai rasa perih menghentikannya. Di ujung kukunya, ada noda merah. "Hah ... jadi berdarah, 'kan?"

Ia tersenyum sinis di depan cermin. Membayangkan pantulan dirinya di sana adalah Bianca. "Heh, anak orang gila, asal kamu tau, ya? Aku nggak bodoh! Kata Mama sama Papa, aku tuh berlian yang belum dipoles. Makanya potensiku belum keliatan. Kamu yang buta, anjing! Kamu sama aja sama saudara anjingku yang lain!"

Lidahnya terasa pahit begitu menyebut 'saudara'. Mereka bukan saudara, melainkan hanya orang jahat yang kebetulan memiliki pertalian darah dengan kedua orang tuanya.

Sien tertawa sinis. "Kamu merasa sempurna banget gitu? Huek! Dapetin Dante aja nggak mampu! Cuih! Sempurna apanya? Kalau bukan karena harta kakekmu, udah pasti levelmu cuman setara keset!"

Ia terus mengoceh. Namun, itu tidak membuat amarahnya mereda. Harga dirinya sudah terluka oleh ucapan Bianca. Sien sadar, betapa menyedihkan dirinya yang hanya bisa mengatakan itu semua pada bayangannya sendiri.

Pikirannya beralih pada awal yang menjadi masalah menurutnya, yaitu Mayuno yang langsung kembali ke kelas dan hanya mengabari lewat chat.

"Ini salah Mayuno! Kalau bukan gara-gara si kere itu, Bianca pasti nggak bakal ngomong gitu. Iya. Ini gara-gara Mayuno. Andai aja dia ijin kayak biasa, aku nggak akan ngomong gitu! Atau ... ini gara-gara Freya? Kalau dipikir lagi dia yang mancing aku duluan."

Sien mengangguk yakin. "Bener. Ini bukan salah Bianca, bukan salah aku juga. Yang salah itu mereka berdua. Iya, bener. Bianca cuma pengen ngelindungin pertemanan kita. Ayo, Sien. Positif thinking. Kalian berdua itu sahabat sejati, kamu yang pertama kali jadi temen Bianca di sekolah. Mereka berdua cuma penjilat rendahan."

Mayuno Sang FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang