Dari tempatnya berdiri, Hildan yang semula marah berubah menjadi khawatir ketika melihat Mayuno yang berdiri kaku dengan wajah pucat dan air mata yang mengaliri pipi. Gadis itu diam, kedua matanya yang berkilau di bawah sinar rembulan membelalak lebar sebelum pupilnya bergulir ke arah Hildan.
"Hildan ...," panggil Mayuno lirih di sela napas yang menderu akibat isakan tangis.
Hildan yang melihat itu pun tidak bisa berpikir positif. Segera ia menghampiri Mayuno, memegangi kedua bahu gadis itu saat kakinya yang seolah melemas tidak mampu menahan bobot tubuh.
"Kenapa, May? Ada apa?" tanya Hildan khawatir sembari menepikan helaian merah muda Mayuno dari menutupi mata. Amarah yang semula menguasai hati lelaki luruh dalam sekejap, menghilang layaknya buih di lautan hanya karena melihat kondisi gadisnya yang tampak tidak baik-baik saja.
"Ada apa? Siapa yang nelepon tadi?" Hildan bertanya lagi. Dengan lembut, sebelah tangannya terulur mengusap air mata Mayuno yang tak juga berhenti mengalir.
"R-rumah sakit ...." Kata-kata Mayuno terjeda oleh isakan tangisnya sendiri. "Tolong anterin ... aku ke rumah ... sakit," lanjutnya patah-patah, susah payah untuk menyelesaikan satu kalimat. "A-aku mohon ... tolong ... Rumah Sakit Harapan ...."
Remasan kuat terasa di lengan Hildan yang terbungkus jaket hitam. Rasanya sakit, tetapi lelaki itu tidak bereaksi apapun karena fokusnya kini penuh kepada Mayuno yang menatapnya sedih.
"Mama lagi kritis."
Dua jam sebelumnya.
"Mbak Jess, nanti kamu nggak nginep, kan?"
Jessie mendongak, mengalihkan pandangan dari laporan hasil CT scan salah satu pasiennya pada Nina, seorang gadis yang kini bertugas sebagai dokter residen di Unit Pediatri, unit yang berbeda dengan Jessie yang bekerja sebagai dokter spesialis bedah jantung.
Meski mereka berdua berada di unit yang berbeda, tetapi sikap ramah Nina membuat keduanya menjadi akrab. Sebenarnya bukan hanya kepada Jessie, Nina juga ramah kepada yang lain sehingga gadis itu disukai oleh para pekerja di rumah sakit.
"Tidak. Saya langsung pulang hari ini karena tidak ada jadwal operasi. Kenapa?"
Mendengar jawaban tersebut, senyum penuh Nina mekar seketika, menampakkan deretan gigi putih dan rapinya. "Kalo gitu temenin aku ke suatu tempat, ya?"
"Ke mana?" tanya Jessie penasaran lalu menaruh laporan di atas meja.
Sementara itu, Nina langsung menaruh pantatnya di kursi yang berhadapan dengan Jessie. "Semalem aku scroll-scroll sosmed, terus nggak sengaja nemuin restoran yang kayaknya enak. Nah, kemarin 'kan Mbak udah bantuin aku dan aku udah bilang mau balas budi, jadi menurutku ini waktu yang tepat. Mau, ya?"
Jessie menengok jam dinding yang bertengger lurus dari tempatnya duduk yang menunjukkan pukul enam sore. Hari ini ia pulang lebih cepat dari biasanya, jadi meluangkan satu jam untuk jalan-jalan sepertinya bukan keputusan yang buruk.
Lalu pergilah mereka berdua dengan menaiki mobil Jessie karena Nina belum memiliki kendaraan pribadi. Jessie menyetir dengan kecepatan stabil membelah kendaraan yang merayapi jalan raya sesuai dengan lokasi yang di setel pada peta elektronik.
Restoran yang dimaksud oleh Nina tertelak di pinggiran ibu kota, sehingga memakan waktu yang cukup lama. Namun, tempat itu sangatlah ramai dan hampir saja keduanya tidak mendapat kursi kalau saja tidak ada pelanggan yang telah menyelesaikan makan mereka lalu keluar.
Rasa masakannya pun luar biasa enak. Menurut Jessie, perjalanan panjang mereka tidaklah merugi karena lidahnya begitu dimanjakan hingga tanpa sadar, wanita yang biasanya tidak makan banyak itu memakan habis dua menu yang dipesan Nina dan membuat perutnya sesak karena kekenyangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayuno Sang Figuran
Fiksi RemajaSehari setelah membaca novel yang ia temukan di bawah kasur, seorang gadis mati secara menyedihkan saat mencoba lari dari renternir. Entah karena keajaiban apa, matanya kembali terbuka, tetapi bukan sebagai dirinya, melainkan Mayuno. Mayuno adalah t...