Tari, seorang gadis biasa yang mengharapkan perhatian orang tuanya seperti bagaimana mereka memperhatikan sang kakak yang berusia empat tahun lebih tua darinya.
Mereka bersaudara, tapi berbeda. Kakaknya yang bernama Mutiara itu sangat cantik, bertubuh tinggi dan ramping, kulitnya putih bersih, dan juga dulu aktif sebagai Mayoret dan anggota OSIS di sekolahnya. Penampilan fisiknya yang nyaris sempurna itu diturunkan dari sang ibu kecuali hidung mancungnya yang berasal dari gen Ayah.
Sedangkan Tari sebaliknya, mengikuti gen ayahnya yang pendek dan gempal. Wajahnya pun biasa saja. Tidak seperti Mutiara yang bisa makan banyak tanpa takut gemuk, tubuh Tari mudah gemuk karena metabolisme yang lambat. Semua mengikuti Ayah kecuali hidung pesek yang diwarisi dari Ibu.
Hal itu menyebabkan Tari sering dibanding-bandingkan oleh saudara, teman, orang asing, bahkan ayahnya sendiri. Ia yang awalnya percaya diri, lama-kelamaan menjadi minder.
"Itu adek kamu? Seriusan? Bukan anak pungut?"
Tari masih ingat dengan wajah pemuda yang merupakan teman kakaknya. Bagaimana ia memandang Tari dengan raut tidak percaya yang terpancar, sekaligus merendahkan.
"Beda banget!"
Lalu bisikan dan lirikan sinis salah satu sahabat Mutiara yang datang untuk kerja kelompok di rumah mereka.
"Kamu itu beneran anak Erna bukan, sih? Kok nggak mirip sama sekali. Jangan-jangan ketuker di rumah sakit. Bercanda lho, ya."
Juga ledekan teman ayahnya yang diutarakan dengan keras di tengah suasana ramai saat ada acara makan-makan. Ejekan yang disamarkan sebagai gurauan itu disambut tertawaan oleh yang lain.
"Rawat diri, biar bisa cantik kayak kakakmu itu," kata Bibi sebelah rumah.
"Aku nikahin ibumu biar keturunanku bagus semua. Udah! jangan nambah nasi! Badanmu udah kayak gentong! Mana ada laki-laki kaya yang mau sama kamu kalau gitu. Lihat kakakmu, dia tadi balik dianterin pake mobil sama pacarnya!" sergah Ayah ketika Ibu kebetulan memasak makanan kesukaannya. Padahal Tari sudah menunggu lama untuk ibunya memasakkan makanan itu.
"Mbak, itu majikannya lupa kembalian."
Bahkan seorang kasir yang notabenenya orang asing juga menatap pada Tari tidak acuh, berwajah masam. Sementara pada Mutiara sikap orang itu sangat ramah.
Ucapan menyakitkan dan berbagai bentuk diskriminasi yang kentara terutama saat Tari dan Mutiara bersama seperti itu sudah biasa Tari alami. Meski sakit, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menaikkan kepercayaan dirinya yang sudah jatuh.
Anehnya, Mutiara sangat senang mengajaknya pergi bersama dan selalu tersenyum menanggapi perkataan menyakitkan yang ditujukan pada Tari dengan berkata, "ih! Jangan gitu, dong. Gimanapun dia adek aku, lho." atau, "kita mirip, 'kan? Jelas dong, kan kita saudara." Jika tidak ada yang mengungkit perbedaan mereka.
Dulu Tari merasa senang mendengarnya. Ia berpikir bahwa Mutiara mengatakan itu memang untuk membela adik yang ia sayangi tetapi sekarang, Tari merasa kesal tiap kali kakaknya melakukan itu.
Lalu suatu hari, untuk pertama kalinya orang tua mereka marah besar pada Mutiara. Alasannya adalah karena gadis itu tidak lulus seleksi masuk ke SMA bergengsi di kota Halix, Halix High School. Harapan Tari untuk diperhatikan selayaknya Mutiara kembali bertunas. Ia belajar keras dan berhasil menjadi siswa jalur undangan.
Seperti dugaan, orang tuanya amat bangga dan setelah sekian lama Ayah memeluknya dengan wajah haru. Tari sangat bahagia, ia berjanji dalam hati akan menjalani masa SMA-nya dengan baik, aktif, dan berprestasi. Ia membayangkan kehidupan sekolah yang indah, berwarna, dan punya banyak teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayuno Sang Figuran
Fiksi RemajaSehari setelah membaca novel yang ia temukan di bawah kasur, seorang gadis mati secara menyedihkan saat mencoba lari dari renternir. Entah karena keajaiban apa, matanya kembali terbuka, tetapi bukan sebagai dirinya, melainkan Mayuno. Mayuno adalah t...