Ternyata konsisten itu sulit. Hildan harus mengakui ucapan Putra yang mengatakan kalau dirinya akan menyerah dalam waktu singkat. Meskipun belum terealisasi, tapi kemalasan yang menghampiri mulai menghambat latihannya yang padahal sudah membuahkan hasil walaupun tidak se-atletis Theo maupun para lelaki yang ia lihat di gym ini.
Di depan cermin kamar mandi gym, terpantul bayangan Hildan yang mengangkat kaos hitamnya sendiri, matanya fokus pada gelombang berbentuk kotak-kotak samar di perutnya yang tampak mengkilat oleh keringat. Menepuk-nepuk bagian itu lalu mengernyit heran.
Apa yang bagus dari ini? Faktanya ini hanya otot-otot yang tidak terlalu berpengaruh pada popularitasnya. Tanpa otot ini pun banyak gadis yang sudah melirik. Jadi untuk apa dia terus berolahraga membentuk otot? Ya, dia ingat. Dia melakukan ini untuk menambah stamina karena harga dirinya terluka akibat kalah dari Neti. Namun, kalau dipikir lagi, Neti itu tidak normal. Kekuatannya sangat tidak normal. Lagipula, pacarnya juga tidak suka dengan lelaki berotot.
Pacar .... Ia menggelengkan kepala, menarik kembali kaosnya menutupi perut lalu mencuci muka. Menghalau bayangan gadis berambut pink yang tadi malam muncul di dalam mimpi hingga dirinya bangun sambil menciumi guling bergambar anime sampai guling yang malang itu basah oleh air liur.
Menjijikkan sekali. Hildan jadi seperti orang mesum apalagi saat pagi kelakuan absurd itu dipergoki oleh sang ayah yang masuk ke kamar untuk membangunkannya. Hasilnya, mereka sarapan dalam keadaan super canggung.
"Kamu ... Ehem! Kamu ingat tadi ngapain?"
Darius, ayah Hildan bertanya ragu setelah mereka berdua saling diam. Keterdiaman yang tidak biasanya sebab ayah-anak itu selalu bercengkrama tiap kali makan bersama.
Hildan tidak jadi menggigit sandwich isi dagingnya, makanan itu lantas ditaruh kembali ke piring lalu menjilat mayones di bibir bawah dalam keadaan gugup, mengangguk kecil tanpa berani memandang lawan bicara. "I kissed my guling," jawabnya lirih.
"Ya. Selain itu?"
"Nggak ada."
"There is. You made a weird noise, boy."
Darah Hildan serasa terjun deras hingga tubuhnya dingin. Tidak bisa mengelak karena tahu ayahnya bukan tipe orang yang suka berbohong. Hanya bisa menelan ludah sepelan mungkin dan menggigit bibirnya sendiri dalam diam.
Melihat anaknya tidak merespon apapun, Darius melanjutkan, "Hildan, Papa juga seorang lelaki, pernah muda dan ngerti apa yang kadang dipikirin remaja seumuranmu. Kadang kita perlu pelampiasan untuk memuaskan hasrat biologis ... yah, gitu. Tapi, tolong jangan sering dilakuin sampai-sampai kebawa mimpi. Itu bisa merusak otak dan mungkin berakibat ejakulasi dini nantinya. Malah, kalau bisa stop sepenuhnya. Papa punya temen yang kecanduan nontonin video haram dan ...."
Wejangan Darius, ayah Hildan terpotong oleh deringan teleponnya sendiri. Lelaki berusia kepala empat itu tersenyum pada putranya sebelum beranjak dari meja makan untuk mengangkat telepon, meninggalkan Hildan yang menunduk dalam menahan malu. Rasa malu yang amat sangat hingga wajahnya merah dan panas sampai ke telinga.
Bisa-bisanya sang ayah mengira kalau Hildan suka menonton video haram dan olahraga lima jari?!
Memang, ia tidak tahu apa yang terjadi saat masih tertidur, yang ia tahu hanya bangun dalam keadaan menciumi guling efek dari mimpi yang tidak perlu dijelaskan. Namun, ternyata menurut Darius, Hildan sampai bersuara aneh dan menduga hal tersebut. Sungguh memalukan! Ketahuan orang tua disaat seperti itu sungguh memalukan!
Karena mimpi itu juga tadi pagi ia memutuskan untuk mengirim pesan pada Mayuno yang mengatakan kalau tidak bisa menjemput. Pesan itu hanya dibalas dengan emoji jempol, hanya itu. Mayuno bahkan tidak menanyakan alasan ataupun yang lain. Tidak mengherankan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayuno Sang Figuran
Fiksi RemajaSehari setelah membaca novel yang ia temukan di bawah kasur, seorang gadis mati secara menyedihkan saat mencoba lari dari renternir. Entah karena keajaiban apa, matanya kembali terbuka, tetapi bukan sebagai dirinya, melainkan Mayuno. Mayuno adalah t...