Hari Minggu seharusnya menjadi hari di mana kebanyakan orang bersantai melewati liburan mereka, dengan jalan-jalan atau hanya sekedar malas-malasan di dalam kamar sambil menonton acara kesukaan. Hari yang pas untuk mengatur ulang otak yang penuh oleh pekerjaan dan pelajaran.
Namun, itu tidak berlaku untuk beberapa orang termasuk gadis berambut hitam yang saat ini sedang berkutat dengan soal-soal latihan yang memeningkan kepala. Tangannya tak berhenti bergerak, menggoreskan rumus-rumus matematika di atas kertas dengan pensil sejak dua jam yang lalu.
"Salah!"
Pukulan tongkat mengenai tangannya dengan keras, pukulan dari seorang wanita berkacamata yang terus mengawasi kegiatan belajar atau lebih tepatnya hukuman karena salah satu nilai UTS-nya kurang dari angka sembilan. Pukulan itu meninggalkan bekas kemerahan yang samar.
Rasanya agak perih. Meski begitu, ekspresi datarnya tak berubah. Gadis itu hanya berhenti sejenak lalu meraih penghapus untuk mengulang rumus yang katanya salah itu.
"Hapus yang bersih. Jangan kamu pikir hal kecil seperti ini sepele. Karena kamu menyepelekan hal kecil jadinya nilaimu turun."
Lagi, pukulan mendarat di punggung tangan dan meninggalkan bekas lagi. Akan tetapi, seperti tidak memiliki emosi, gadis itu diam saja seperti sebelumnya. Diam lalu melanjutkan apa yang ia lakukan. Gadis itu tahu, wanita yang matanya tak lepas darinya itu sengaja mencari kesalahan sekecil apapun untuk memberi hukuman, tapi ia memilih untuk diam karena sudah lelah sejak semalam otaknya terus diperas.
"Kamu dengar?" tanya wanita itu karena tidak ada respon apapun. Ujung tongkat itu menusuk pelan bahu gadis yang sedang duduk membelakanginya. "Tolong jangan mengabaikan orang lain saat dinasehati. Hargai aku sebagai tutor kamu seperti aku menghargai kamu sebagai murid."
"Ya. Madam."
"Cuma, ya? Kamu bahkan nggak minta maaf?"
Gadis itu mulai merasa kesal, menghirup napas dalam-dalam lalu dikeluarkan perlahan untuk menahan diri agar keinginan memukul wanita itu pudar. "Maafin saya, Madam." Ia harus bersabar setidaknya sampai sesi belajar ini selesai.
"Hah! Kamu bahkan mengeluh sekarang. Makanya belajar yang serius. Kamu sudah disekolahkan di sekolah mahal sama Kakek di saat mama kamu dulu mengecewakan beliau."
Selalu begitu. Tiap kali berbuat salah pasti kesalahan masa lalu orang tuanya akan diungkit seolah ia juga berperan dalam kesalahan itu sendiri. Kalau tidak, kesalahan itu akan dijadikan sebagai contoh buruk yang tidak boleh diikuti oleh siapa pun. Bianca tidak suka. Bukannya ia tidak suka ibu dan ayahnya diolok-olok tapi gadis itu benci, benci selalu dibayangi oleh mereka berdua yang membuatnya harus diinjak oleh yang lain.
Kalau saja, kalau saja Tuhan memberi keajaiban untuknya mengulang waktu sebagai ruh, maka Bianca akan bersujud mempertaruhkan harga dirinya agar bisa memilih orang tua yang dia inginkan. Sayang sekali, hal semacam itu hanya ada di dalam dongeng.
"Tolong jangan terlalu kasar dengan Non Bianca, Madam."
Derit pintu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang pria berjas hitam rapi yang membawa nampan berisi biskuit dan minuman dingin ke dalam ruangan yang dominan berwarna hitam itu. Sangat suram untuk digunakan sebagai ruang belajar.
"Ini caraku mengajar. Kamu yang cuma supir tidak perlu berkomentar," balas wanita yang dipanggil madam itu sengit. "Dan untuk apa kudapan manis itu?" Ia menunjuk piring berisi biskuit dengan tongkat pendeknya yang menjadi pegangan mutlak.
"Kepala pelayan menyuruh saya membawakan ini untuk Anda berdua. Non, Madam," pria berjas itu menjawab sopan seolah tidak terpengaruh oleh ucapan tajam barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayuno Sang Figuran
Fiksi RemajaSehari setelah membaca novel yang ia temukan di bawah kasur, seorang gadis mati secara menyedihkan saat mencoba lari dari renternir. Entah karena keajaiban apa, matanya kembali terbuka, tetapi bukan sebagai dirinya, melainkan Mayuno. Mayuno adalah t...