61. Ketakutan

1.4K 185 26
                                    

Wajah Hildan terlempar ke samping begitu cepat setelah bertabrakan langsung dengan bogem mentah dari Harja, kakak sepupunya. Belum sempat mencerna situasi, perutnya juga menjadi samsak tinju bertubi-tubi dari pria yang telah mencapai sabuk hitam itu.

Tersungkurlah Hildan ke tanah berpasir di pinggir pantai, terbatuk-batuk mengeluarkan air liur bercampur darah yang terasa asin, memegangi perut yang sesak akibat pukulan Harja yang tidak main-main. Sebelah matanya yang berair tak mampu terbuka akibat lebam parah.

"Bangun. Bangun kamu bajingan," ucap Harja bersuara rendah tapi mengancam ,aura kemarahan begitu pekat menguar dari tubuhnya yang terlatih, sepasang tangan berbalut sarung tangan hitam itu terkepal amat kuat hingga urat-uratnya menonjol.

Harja memandang rendah dan murka pada Hildan yang masih tersungkur, merintih memegangi perutnya di atas pasir. Tanpa rasa kasihan, Harja menendang remaja lelaki itu hingga jatuh menyamping. "Sakit, eh?"

"Argh!" Hildan memekik tertahan kala kali berbungkus sepatu tebal milik Harja menghantam dada. Cepat-cepat ia menekuk kaki dan melindungi kepala dengan kedua tangan karena Harja tak juga berhenti menghajar. "Bang! Berhenti!" Ia berteriak di sela-sela ringisan dan serangan yang terus mengenainya.

Pria itu malah terlihat makin beringas menyerang Hildan, menginjak-injak lengan atau bagian tubuh samping lainnya yang tak terlindungi. Ia melakukan itu sambil tak berhenti mengumpat.

"Bangsat! Bajingan! Berengsek!" Tiap satu serangan, maka satu umpatan lolos dari bibirnya. Harja tak berteriak sama sekali, suaranya tetap sama, rendah tapi penuh akan amarah.

Di bawahnya, Hildan yang sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang mendera kehilangan harapan jika Harja akan berhenti menyerang. Dengan sisa tenaga yang ia punya, lelaki itu berguling cepat sebelum injakan Harja mengenainya lagi. Namun, dengan cepat pula Harja menarik dan melayangkan tinju lagi.

"Bang!" Hildan terbatuk. "Bang, berhenti! Ada apa?!" Ia berusaha bertanya meskipun tulang dan sendinya seolah lepas dan patah di dalam, meskipun dadanya sesak hingga ia sulit bernapas. Suaranya pun hampir hilang oleh napas yang terengah-engah.

"Ada apa? Jangan pura-pura nggak tau kesalahan kamu, bajingan," jawab Harja sembari menarik tangannya yang di tahan Hildan, kemudian menyerang lengan Hildan yang tersilang demi melindungi wajah.

"Mati aja kamu. Sepupu nggak tau diri." Harja bangkit, lalu menginjak perut Hildan lagi dan membuatnya merintih sakit. "Beraninya kamu nyentuh Mara yang udah kayak kakakmu sendiri."

"A-apa maksud A-abang?" tanya Hildan terbata menahan sakit di sekujur tubuh. Harja benar-benar tidak memberi kesempatan baginya untuk melawan. Gerakan dari seorang atlit memang berbeda, cepat dan tangkas. Tenaganya juga tak main-main. Hildan yang belum lama berolahraga serta tidak pernah berlatih beladiri tentu bukan tandingan yang setara.

Harja meludah ke pasir. Ia yang semula berdiri menjulang, merendahkan tubuh dengan berjongkok di depan Hildan yang terbaring menyamping, menatap dingin pemuda yang selalu dianggap sebagai adiknya itu.

"Berhenti bersikap kayak orang bodoh. Kamu terlalu angkuh sampe berpikir kelakuan bejatmu nggak bakal ketahuan, Hildan. Bisa-bisanya kamu ngelecehin Mara? Aku baru tau ternyata kalian pernah punya hubungan dulu. Tapi apa nggak bisa kamu move on dan jangan ganggu dia? Dia istriku sekarang."

Reflek sebelah mata Hildan yang masih selamat membelalak, menatap wajah Harja yang gelap dan mengembun, tak nampak oleh bias cahaya bulan di belakang kepalanya. Air mata yang menggenang juga membuat pandangan Hildan kabur.

"Ngelecehin?" katanya berbisik, secara otomatis otaknya fokus pada satu kata itu. "Aku nggak—"

Belum sempat ia membela diri, Harja sudah lebih dulu memotong. "Haha! Aku tau kamu nggak bakal ngaku. Siapa juga penjahat bodoh yang mau ngakuin kesalahan? Bisa-bisa penjara penuh, ya? Haha!" Ia tertawa hambar. "Makanya sesekali mereka harus dikasih hukum rimba."

Mayuno Sang FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang