28. Rekaman Suara

2.2K 220 6
                                    

"Kamu tadi ketemu Suri?"

Mayuno mengalihkan pandangan dari TV yang menyiarkan kartun pada Jessie. Wanita itu sedang melepas sepatu sport-nya di dekat pintu masuk lalu berjalan ke arah sofa tempat putrinya duduk, ikut duduk bersandar di sana.

"Istri baru Papa, kan? Iya."

"Tidak bisa dibilang istri baru. Mereka sudah menikah enam tahun." Jessie menegakkan tubuh lagi untuk melepas mantel hitamnya kemudian menyandarkan punggung sampai kepalanya mendongak di sandaran sofa. "Apa pun itu. Kerja bagus," pujinya tiba-tiba.

Mayuno mengedipkan mata beberapa kali karena bingung dengan pujian Jessie. Tidak mengerti kerja bagus apa yang sudah ia lakukan hingga wanita kaku itu melontarkan pujian.

Jessie melirik pada sang anak yang tidak merespon sama sekali, tapi ia langsung paham. "Kerja bagus karena kamu sudah bisa menerima kondisi orang tua kamu," jelasnya sambil tersenyum. "Jujur saja, Mama sempat kaget waktu Ghani menelpon dan mengatakan kalau kamu bertemu istrinya, apalagi bersama Shin. Mama pikir Ghani marah seperti beberapa minggu yang lalu. Tapi ternyata tidak."

Terdengar helaan napas lega dari wanita itu. "Kamu tau, Ghani selalu ingin mengambil kamu dari Mama kalau di matanya kamu tidak berubah. Dia peduli padamu dan tidak mau kamu menjadi anak yang kurang simpatik dan beretika buruk."

"Maksudnya?"

"Maksudnya kalau kamu tidak berubah, artinya Mama gagal menjalankan peran sebagai orang tua. Karena gagal, peran itu akan diambil Ghani sepenuhnya agar dia bisa mendidikmu." Jessie menjeda sejenak, mengangkat cangkir berisi teh yang tadi ditaruh Ita di atas meja, menghirup aromanya sebelum menyeruput sedikit. "Yah, memang Mama bukan Ibu yang sempurna, tapi membayangkan satu-satunya darah daging Mama diambil, rasanya tidak rela."

Untuk pertama kalinya, Jessie mengutarakan perasaannya sendiri di depan Mayuno. Ia terlalu senang, terharu sebab ketakutannya akan kegagalan selama ini tidak terjadi. Jessie selalu takut, merasa ragu akan kapabilitas dirinya sendiri sebagai orang tua. Meski takut, perasaan untuk tetap bersama dengan sang anak lebih menguasai.

Jessie menyayangi anaknya, tapi untuk menunjukkan perasaan itu, ia masih merasa kikuk dan tidak seleluasa Ghani yang mampu menunjukkan kasih sayang pada Mayuno melalui kata-kata juga tidak selembut Suri. Ia terlalu terbiasa bersikap dingin karena pengalaman tidak menyenangkan selepas dirinya bercerai dan memilih untuk pergi ke kota. Pengalaman buruk itu yang membuat Jessie memutuskan untuk tidak menikah lagi, lebih suka hidup sendiri tanpa kewajiban untuk mengurus orang lain.

Itu juga alasan Jessie tidak segera mengambil Mayuno. Selain karena larangan sang nenek yang ingin tetap bersama cucunya di rumah penuh kenangan di desa, Jessie juga berpikir, mengurus anak itu merepotkan. Ya, dia berpikir begitu bertahun-tahun hingga suatu hari, saat Jessie datang menjenguk, ia melihat Mayuno menangis sendirian di bawah pohon sambil bergumam, "Aku punya Mama, aku punya Papa. Aku bukan yatim piatu."

Hatinya terenyuh melihat betapa menyedihkannya anak itu, terlihat lemah padahal selalu pecicilan tiap kali Jessie berkunjung. Kunjungan yang jarang sekali. Setelah hari itu pikirannya mulai terganggu, ada penyesalan yang menyeruak masuk ke relung hatinya. Namun, lagi-lagi Jessie menyangkal perasaan itu hingga waktu pun berlalu. Akhirnya, Mayuno pergi bersamanya setelah Nenek meninggal.

Berbeda dengan Jessie yang mendadak sendu, Mayuno justru berpikiran lain. "Mama sehat? Hari ini nggak ada operasi yang gagal, kan?"

"Hah?"

"Mbak Ita bilang, Mama kadang jadi melankolis kalo ada operasi yang gagal atau ngeliat pasien meninggal," kata Mayuno polos.

Jessie berkedip, tatapan sendunya kembali datar seperti biasa. "Kamu menghancurkan suasana," gerutunya pelan sebelum beranjak pergi untuk mandi.

Mayuno Sang FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang