59. Tamu Malam

1.4K 219 45
                                    

Dinginnya pendingin udara di ruang tamu rumah tidak bisa mengalahkan dinginnya tatapan Jessie kepada dua pemuda yang kini duduk manis di sofa miliknya. Meskipun bibir keduanya mengukir senyum, tetapi pikiran mereka sama. Wanita yang ada di hadapan mereka ini galak.

Hildan yang sudah tiap pagi menghadapi wajah itu karena menjadi supir gratis sudah terbiasa, berbeda dengan Theo. Ini kali pertama ia berkunjung dan berhadapan langsung dengan Jessie. Bahkan lelaki yang besar badannya itu dibuat menelan ludah kasar ketika dihujam mata tajam yang seolah tengah mengulitinya.

"Saya menghargai kepedulian kalian, tapi Ini sudah jam sembilan malam. Waktu yang kurang pas untuk bertamu. Apakah orang tua kalian tidak marah?"

Theo dibuat gugup ketika pandangan Jessie jatuh padanya, spontan punggungnya tegak dengan kedua tangan bertumpuk rapi di atas paha. Padahal hanya dipandang tanpa mengucapkan apapun, tapi Theo merasa seperti sedang dituntut dan dihakimi.

"Tidak, Bu. Saya sudah minta izin." Setelah menjawab, Theo jadi ingin mengubur dirinya sendiri ke dalam inti bumi. Dibandingkan mengobrol santai, intonasi suaranya lebih seperti sedang laporan pada atasan.

Terdengar dari samping Hildan sedang menahan tawa yang hampir menyembur andai tidak segera menutup mulut. Menertawakan bahasa formal Theo yang kaku dan aneh.

Theo mendelik, ia bisa melihat dari ekor mata betapa menyebalkannya lirikan mengejek yang dilontarkan teman sekelas yang ia juluki setan merah itu.

Keinginan untuk memiting leher Hildan atau menyeretnya ke ring tinju timbul, tetapi itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah menghadapi wanita cantik tapi galak ini.

Sejak kedatangan mereka lima menit lalu sampai sekarang, Theo belum bisa percaya Jessie adalah ibu Mayuno. Selain karena wajah dan tubuhnya yang masih tampak muda, raut wajah serta aura Jessie sangat berbanding terbalik dengan gadis itu.

Kalau diibaratkan, Mayuno itu seperti kelinci, sementara Jessie lebih mirip singa. Tegas dan berwibawa. Bahkan wajah datarnya saja sudah cukup membuat segan. Padahal ia sudah pernah menghadapi Ghani, ayah Mayuno yang juga menunjukkan sikap protektif, tetapi Jessie berada pada level yang berbeda.

Gender mereka seolah ditukar karena biasanya lebih mengerikan menghadapi ayah daripada ibu.

"Hildan, saya ucapkan terima kasih atas bantuan kamu tadi siang. Maaf sudah merepotkan. Pasti kamu lelah, kenapa tidak menjenguk besok saja? Kenapa malam-malam begini?"

Hildan berdehem lantas menjawab dengan tenang. "Tadi siang sampe sekarang saya sibuk nugas, Tan. Terus waktu balik, mendadak kepengen krepes, kebetulan juga tempatnya nggak jauh dari sini. Jadi saya pikir sekalian aja bawain dan jenguk Mayuno."

Theo yang melihat betapa tenangnya Hildan mengucapkan kebohongan dalam waktu singkat tidak bisa melakukan apapun selain bertepuk tangan di dalam hati. Santai sekali dia, padahal mereka tidak ada tugas apapun yang menghabisakan waktu selama itu.

"Apa Mayuno yang meminta kamu datang?"

Hildan menggelengkan kepala. "Nggak, Tan. Ini inisiatif saya sendiri. Maaf kalo kemaleman."

Lagi-lagi Hildan berbohong dengan lancarnya. Theo tahu sebab pertemuan mereka terjadi secara tidak sengaja di food truck penjual krepes. Di sana Theo mendengar dengan jelas ketika Hildan menanyakan rasa apa yang Mayuno inginkan. Walaupun pada akhirnya ia membeli rasa sembarang.

"Nama kamu siapa tadi?" Jessie kembali bertanya pada Theo, tetapi lelaki itu tengah tenggelam dalam pikirannya hingga tidak langsung menjawab.

"Halo?"

Hildan segera menyenggol lengan Theo di sebelahnya, menyadarkan lelaki itu dari lamunan. Mereka saling pandang sebentar, lalu Hildan memberi isyarat dengan lirikan mata, meminta Theo menoleh pada Jessie.

Mayuno Sang FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang