"Cukup dekat sampe aku bisa ngerasain cairan tubuhnya."
Angin berembus sesaat setelah Dante berkata demikian, menerbangkan helaian rambut kedua pemuda yang kini berdiri saling berhadapan di salah satu sudut atap sekolah.
Keterdiaman menjadi jeda di antara mereka sehingga menyebabkan suasana tegang. Seringai mengejek Dante semakin lebar ketika melihat sepasang alis Hildan yang menukik, hampir menyatu serta kelopak matanya yang menyipit menunjukkan kekesalan.
"Kamu tau? Rasanya aneh," imbuh Dante mengambil beberapa langkah mendekat hingga jarak mereka kini hanya setara satu kaki. Ia pandangi Hildan dari ujung kaki sampai ujung kepala sambil menjilat bibir bawahnya sendiri. "Asin, tapi aku nggak bakal nolak kalo dia nawarin lag ...."
Ucapan Dante terpotong seketika saat tinju Hildan melesat cepat, menghantam rahangnya begitu kuat yang menyebabkan wajah Dante terlempar ke samping. Tubuhnya terhuyung, tetapi tidak sampai jatuh ke lantai berdebu karena lelaki itu sempat memijak dengan kaki kiri yang segera menapak.
Untuk beberapa saat Dante terdiam merasakan denyutan kuat di rahang serta bagian dalam mulut yang menimbulkan luka. Sungguh, lelaki itu tidak pernah menyangka kalau Hildan akan langsung menunjukkan reaksi sekeras ini sampai melayangkan tinju. Karena itulah Dante gagal mengantisipasi serangan yang baru saja mengenainya.
Dante juga tidak menyangka kalau pukulan lelaki berambut merah tersebut sekuat ini sampai-sampai membuat pandangannya berkunang selama beberapa detik sebelum rasa asin darah mulai membelai indera perasanya.
Dante meludahkan cairan merah bercampur ludah itu ke lantai, lalu mengangkat pandangan yang menghunus ke arah Hildan. Berbeda dengan matanya yang berkilat, bibir Dante justru mengukir senyum, tetapi bukan sebuah senyuman ramah melainkan kekehan sarat akan kemarahan.
"Beraninya," desis Dante mendongakkan kepala, memejamkan mata untuk sesaat sebelum kembali menatap Hildan dengan mata membelalak lebar. Kemudian lelaki itu melesatkan tinju yang sayangnya hanya mengenai udara kosong karena Hildan memang sudah siap untuk menghindari serangan balasan.
"Ngehindar, eh?" Dante mengetatkan rahang, merasa tak puas. Harga dirinya terluka karena dengan mudah terkena serangan dan sekarang pukulannya pun meleset.
"Karena aku bukan orang bodoh yang rela dipukul," balas Hildan sambil mengambil langkah mundur, kembali menghindari serangan Dante yang lebih cepat dari sebelumnya.
"Bukan orang bodoh?" Dante meludah. "Tapi tindakanmu barusan itu bodoh, berengsek!"
Senyuman lelaki itu semakin lebar, tetapi Hildan bisa melihat sudut bibir lelaki itu berkedut hebat, giginya juga saling beradu, bergemelutuk geram bersamaan dengan napas yang memburu berat.
Hildan melirik buku tangan Dante yang terkepal erat. Tinju yang baru dilayangkan lelaki berambut hitam tersebut jelas akan menimbulkan luka yang fatal jika mengenainya. Hildan sudah bisa menebak dari embusan angin yang ia rasakan ketika Dante melesatkan tinjunya.
Meski begitu, Hildan tidak merasa takut atau terintimidasi karena emosinya kini hanya terpusat pada satu hal, yaitu keinginan untuk melampiaskan kemarahannya akan ucapan Dante yang terkesan melecehkan Mayuno.
"Dante, awalnya aku mau nyelesain obrolan kita dengan kepala dingin karena Mayuno udah ngelarang aku. Aku nurut karena dia bilang kamu udah nggak gangguin dia lagi. Tapi ternyata itu salah, ya?"
"Hm?" Alis kanan Dante naik. Ia tampak penasaran hingga melupakan kemarahannya untuk beberapa saat. "Dia bilang gitu?"
"Dia udah nyeritain tentang masalah kalian. Lebih tepatnya tentang ketertarikan anehmu ke dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayuno Sang Figuran
Ficção AdolescenteSehari setelah membaca novel yang ia temukan di bawah kasur, seorang gadis mati secara menyedihkan saat mencoba lari dari renternir. Entah karena keajaiban apa, matanya kembali terbuka, tetapi bukan sebagai dirinya, melainkan Mayuno. Mayuno adalah t...