44. Kebun Binatang (2)

1.5K 240 30
                                    

Ghani pergi setelah memotret kartu identitas Theo. Pria itu tampak sangat berat meninggalkan anaknya kepada orang asing, tapi Shin dengan masih keras kepala menolak untuk pulang bersama. Kalau terus dipaksa, bisa jadi bocah itu akan menangis.

Mayuno sudah mengatakan terimakasih dan mereka akan berpisah di sini, tapi Theo juga keras kepala tidak mau meninggalkan mereka. Alasan Mayuno melakukan itu hanyalah untuk menghindari spekulasi buruk tentang dirinya. Jangan sampai ada rumor buruk yang hinggap setelah rumor-rumor lain pasca dikeluarkan dari geng.

Selain itu, hubungan Mayuno dan Hildan sedang dalam keadaan baik-baik saja di mata orang lain, kalau ada seseorang dari sekolah yang melihatnya berdua dengan Theo, ia bisa dicap murahan.

"Kak, aku mau ke toilet dulu, ya?" Mayuno berujar saat mereka berhenti di depan kandang singa yang ramai orang melihat. Mayuno sempat melirik ke bawah, para singa itu ditempatkan di semacam kolam besar yang tepiannya berpagar batu. Bukan pagar jeruji besi. Di dalamnya dibuat lingkungan alam mini serta kolam untuk para singa itu bermain.

"Oke." Theo mengambil alih tangan Shin. "Kamu tau di mana tolietnya?"

"Iya. Tadi udah liat peta. Masih inget nggak jauh dari sini."

Mayuno tidak benar-benar ke toilet. Ia hanya menjauh dari Theo agar bisa menghubungi Hildan. Untungnya lelaki merespon cepat atas panggilan telepon itu.

"Halo. Tumben nelepon? Kangen, ya?"

"Kemaren aku bilang mau jalan-jalan ke kebun binatang, kan?" Mengabaikan ocehan Hildan, Mayuno berbicara ke intinya. "Sekarang aku udah di sini."

"Ya, ya. Kamu ngelarang aku buat ikut gegara lagi jalan sama Papa kamu, kan?"

Nada suara Hildan berubah malas saat mengatakan itu. Mayuno ingat, ia menolak permintaan Hildan untuk ikut karena selain mengira kalau lelaki itu hanya bercanda, juga karena ini jalan-jalan keluarga. Namun, dengan nada suara itu, apakah Hildan serius? Mayuno menggeleng. Bukan itu yang penting sekarang.

"Iya. Tapi Papa harus pulang karena ada urusan kerja dan sekarang aku lagi sama Kak Theo."

Selepas mengatakan itu, Mayuno mengernyit karena mendengar suara 'gedubrak' keras diikuti oleh Hildan yang merintih dan mengaduh seolah sedang kesakitan.

"Hildan? Kamu kenapa?"

"Kenapa kamu mau-mau aja?!"

Ponsel reflek dijauhkan dari telinga ketika Hildan membentak dari sana kemudian Mayuno dekatkan kembali. Ocehan Hildan menyambung.

"... mu ngerti situasi sekarang nggak, sih?! Lagi banyak rumor tentang kamu yang buruk. Kalo sampe ada yang liat kamu jalan sama cowok lain, emang kamu siap sama konsekuensinya?!"

"Iya. Aku udah minta pisah setelah dapet izin dari Papa, tapi Kak Theo nggak mau. Nggak mungkin juga aku jelasin situasi aku ke dia, kan?" Kemarahan Hildan tidak menyinggung Mayuno sebab ia paham kekhawatiran lelaki itu. "Aku nelpon sekarang mau minta kamu ngasih alesan apa gitu. Buat aku pake dan nggak bikin Kak Theo kesinggung. Atau kamu punya saran lain?" Mayuno berharap Hildan tidak menyuruhnya pulang saja.

"Aku juga bakal ke sana."

"Apa?" Bukannya Mayuno tidak dengar, ia hanya tidak yakin.

"Aku bakal ke sana. Kamu tunggu aja. Bersikap aja kayak biasa."

Panggilan ditutup sepihak sebelum Mayuno bisa menjawab lebih banyak. Dipandanginya foto Hildan yang memeluk kucing gemuk berbulu panjang di kontak ponsel. "Dia mau ke sini?"

Shin dan Theo sudah berpindah ke kandang harimau. Mereka berdua tampak akrab dengan Shin yang menunjuk-nunjuk hewan buas itu dan Theo yang merespon sambil tertawa. Mayuno yakin, Shin pasti banyak bertanya sekarang.

Mayuno Sang FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang