Part 17 | Friends to Lovers

12.7K 1.8K 475
                                    

BERMAIN api, maka bersiaplah terbakar. Bermain air, maka bersiaplah basah. Bermain perasaan, maka bersiaplah kejeblukan.

Aku tahu rules game yang kumainkan dengan Arfan adalah jaga hati seketat mungkin. Jangan biarkan jatuh tanpa persiapan.

Celakanya, faktor-faktor di luar perhitungan terus saja berdatangan. Mengobrak-abrik peganganku yang sejak awal hanya pas-pasan.

"Kamu bilang cuma anggep aku sebagai adik."

Hanya kalimat payah itu yang mampu aku lontarkan sebelum berjengit mundur dan terjengkang dari sofa. Laki-laki itu menatapku lama, kemudian tertawa.

"Bener. Sebatas adik," setuju Arfan tanpa dosa. "Adik ketemu gede, Nara."

Big bad wolf! Aku mengertakkan gigi.

Bokongku sakit tiba-tiba berciuman dengan karpet bulu, tapi itu tak sebanding dengan kemarahan sekaligus... rasa maluku!

Argh! Kenapa aku mesti jatuh dengan gaya tidak elite begini, sih? Kenapa juga Arfan melemparkan kalimat ambigu semacam itu?

Ia mengulurkan tangan, yang tentu saja kutepis demi menjunjung harga diri yang tersisa. Susah payah aku bangkit dengan wajah merah, sementara Arfan batuk-batuk mengontrol tawa.

"Segitu takutnya saya embat, ya, Ra?" kata Arfan.

Pakai nanya lagi! Sudah kubilang imanku pas-pasan. Arfan jelas bukan lelaki yang eksistensinya mudah diabaikan. He is hot even if he is cold.

Seperti front, dingin dan panas saling bertemu. Bedanya, kalau di massa udara akan membentuk awan, yang ini membentuk Arfan.

Jadi, silakan bayangkan se-lethal apa makhluk ini.

"Kamu enggak perlu khawatir kok," ujar Arfan lagi. Ia menyilangkan kaki, sementara aku tertatih duduk di pojokan sofa. Senyum miringnya terpatri. "Saya enggak akan ngembat kamu kalau kamu enggak ngizinin. I have manners too. Selama ini, hubungan saya selalu consent dari kedua pihak. Saya enggak pernah maksa."

"Terus kamu yang maksa aku jadi pasanganmu itu disebut apa?" sambarku pedas. "Pake manfaatin rasa bersalahku pula. Jerk!"

Tawa Arfan berderai panjang. "Feisty, I like it." Nah, kan... lambe rombengnya mana tahu manner. "Sebut aja saya kepepet, Ra. Kamu muncul di momen yang tepat, di saat saya lagi buntu harus ngadepin para serigala di keluarga saya bareng siapa."

"Paus takut sama serigala? Duh! Tinggal tiban aja pake gulingan maut. Jadi dendeng tuh mereka," timpalku berapi-api.

Sumpah, aku menyesal masuk radar Arfan, playboy kelas paus ini. Yang kelas kakap saja belum pernah, bisa-bisanya aku unlock level paus.

Kadewa pasti tertawa berguling-guling kalau tahu aku yang rajin menyindir status don juannya ketimpuk karma--kecantol pada don juan juga.

Tawa Arfan tak terselamatkan. Ia berbaring di sofa dengan sudut mata berair. Aku heran ke mana stoic dinginnya di saat-saat begini.

"Paus... dendeng," kata Arfan terbata. Wajahnya yang merah diusap sekali sebelum menatapku geli. "Analogi kamu boleh juga, Ra. Sayangnya, sebelum paus gilas si serigala pake gulingan maut tentu bakal ngadepin perlawanan sengit, kan? Serigala punya cakar, sedangkan badan paus lunak. Dia mudah terluka kalau enggak ada tameng dari luar."

"Terus kamu milih jadiin aku tameng gitu?!"

"Bukan, lebih tepatnya benteng." Ia sama sekali tak menyembunyikan fakta tentang memanfaatkanku. Arfan mengerling. "Awalnya, saya juga enggak pengin menuhin ekspektasi siapa-siapa. I can handle it by myself. Tapi, demi kondusifnya acara pernikahan si bungsu, saya enggak bisa biarin probabilitas negatif lolos dari perhitungan. Enggak di saat ini momen once in a lifetime adik saya. That's why saya minta kamu jadi partner di acara itu."

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang