Part 42 | A Blazar

14.2K 1.8K 605
                                    

TERLAMBAT bagiku menghindar. Refleks Kadewa masih tak mampu menyelamatkan mengingat posisinya tidak sedekat itu.

Aku hanya sempat merasakan embusan angin sebelum seseorang memeluk tubuhku dari arah depan. Bunyi vas yang pecah kemudian menyadarkan.

"Kamu enggak pa-pa, Ai?"

Arfan! Dia di sini?

"Are you okay, hm?" tanya Arfan lagi. Nadanya panik. Ia menyingkirkan anakan rambut dari keningku, mengecek kepala dan anggota badan yang lain. "Ada yang luka? Sakit? Tadi kena apanya, Ai? Bilang ke saya. Kena apanya?"

Syok membuatku lamban mencerna. Mata kami beradu.

Sampai teriakan Kadewa terdengar, aku berjengit.

"Bocor! Kepala lo bocor, woy!" Abang menunjuk-nunjuk. "Anjir, panggil ambulans sekarang! Arfan, lo berdarah!"

Baru kusadari maksudnya saat telapak tangan Arfan menyentuh kepala bagian belakang. Jari-jarinya dilumuri cairan merah pekat. Ia mematung, aku mematung.

Vas kaca itu rupanya menghantam kepala Arfan dulu sebelum pecah di lantai. Dia melindungiku.

Tanpa peringatan, tubuh bongsor Arfan roboh. Aku menjerit ketika beban berat menindihku. Situasi pecah sewaktu gerombolan laki-laki muncul dari bagian dalam dan luar ruang tamu. Tiga di antaranya membekuk Elora yang histeris, sementara sisanya menodongkan pistol.

Astaga, apa ini?

"Mohon maaf, Mbak Ainara." Seorang lelaki berjas mendekat. Kadewa dan aku tak berkutik di sofa, terlalu kaget dikepung sosok bersenjata. "Kami perlu melakukan prosedur pengamanan darurat untuk Mas Arfan. Mohon jangan panik, Mbak."

Setelahnya, tubuh Arfan diangkat perlahan dari atasku. Orang yang barusan bicara mengambil alih situasi. Ia menginstruksikan rekannya untuk menyiapkan helipad, jalur udara aman, serta tandu.

Aku membekap mulut, kelewat bingung dengan situasi. Hingga Kadewa menarikku ke sisinya, aku mendengarnya buka suara.

"Mau dibawa ke mana, Pak?"

"Rumah sakit terdekat, Mas. Tapi mengingat sekarang jam makan siang, jalur udara dipilih karena khawatir macet akan menghambat pertolongan untuk Mas Arfan."

"Maksudnya...?"

"Helikopter. Rumah ini punya helipad di atas."

Kadewa tercengang. Aku memasabodohkan lantaran fokusku ada pada kondisi Arfan.

Mikir apa sih dia sok-sokan jadi tameng? Arfan gila? Bisa-bisanya dia bertanya aku terluka atau tidak, padahal dia sendiri yang luka. Arfan bodoh!

Mataku panas. Meski aku menyerapahinya, tetap saja isakanku lepas.

"Lah, lah... nih bocah malah nangis...." Kadewa mengusap-usap pundakku. "Iya, iya, maaf tadi Abang telat prediksi gerakan Elora. Enggak nyangka dia seagresif itu. Abis ini kita nyusul ke rumah sakit. Udah, jangan nangis, dong. Belegug Elora! Gue pites lo abis ini, kambing!"

Apakah permintaan maaf Kadewa akan mengembalikan kesadaran Arfan? Sesakit apa rasanya sampai Arfan pingsan begitu? Aku yang memprovokasi Elora, kenapa Arfan yang kena?

Abang menuntunku ke mobil selang beberapa menit bunyi baling-baling helikopter menjauh. Mataku yang pegal efek menangis semalam, jadi makin pegal lantaran tak berhenti menangis sepanjang jalan.

Di situasi ini, aku baru menyadari betapa konyolnya perilakuku kemarin. Takut kecewa lagi, takut berekspektasi, takut Arfan tidak tulus... apalah gunanya jika Arfan pergi?

Game over bukanlah akhir dari perasaan. Justru itu babak yang memberi pilihan, apakah aku mau membuka game baru atau terus meratapi skor yang tercetak di game sebelumnya?

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang