Part 43 | A Striking Aurora

15.7K 1.8K 747
                                    

ALIS Arfan meruncing. Kesan dingin menguar dari bahasa tubuhnya, selaras dengan wajahnya yang datar.

Aku dicekam ketakutan hebat sampai kemudian Arfan tersenyum.

"Bercanda, Ai."

Sumpah, meledaklah tangisku. Lututku melorot, terlalu lemas menopang diri sendiri.

"Eh, eh, kok nangis? Bercanda, Ai. Bercanda...." Arfan beringsut dari ranjang. "Yah, jangan nangis, dong. Aduh, saya takut di-smackdown Kadewa ini."

"Ja-hat!" Bagaimana bisa itu bercanda? "A-aku pikir... aku pikir kamu asing lagi kayak di Historica-fé. Enggak kenal aku."

"Maaf, Ai. Beneran iseng doang tadi."

Mimpi buruk bagi perempuan bukanlah tak pernah memiliki, namun merasa memiliki untuk kemudian kembali asing. Strangers but with memories.

Bisa-bisanya dia menge-prank begini waktu aku sudah kenyang dengan keterasingan di awal reuni.

Dengan lembut, Arfan menuntunku duduk di bed rawat. Memeluk dan mengusap punggungku berkali-kali.

"Ssh... kamu dulu sedih banget ya waktu saya enggak ngenalin kamu di kafe?" bisik Arfan. "Maaf. Kemampuan face recognition saya emang payah, Ai. Udah gitu, daya inget saya enggak menolong sampe banyak kenangan lama yang perlu dibantu inget sama diary. I'm so sorry, buat yang dulu dan keisengan tadi."

Secara berangsur-angsur, tangisanku mereda. Sisa isak kecil membuat Arfan enggan melepas pelukan.

"Kamu kalau bercanda jangan pake tampang serius, Arfan. Muka udah judes, makin serem kalau enggak senyum," keluhku.

"Eh, iyakah?"

Aku menjauhkan pipi dari dadanya. Arfan balas menatapku, tapi dengan mata kedip-kedip bingung begitu yang ada kesan menggemaskan jadinya.

"Senyum. Kegantengan kamu makin terjangkau kalau senyum." Dua tanganku memaksa sudut bibir Arfan terangkat. "Eye smile kamu cakep, muka kamu baby face, rahang kamu tegas, terus aura kamu kelihatan lebih cerah pas senyum, Arfan."

Arfan mematung.

Keadilan sosial bagi makhluk good looking. Arfan kalau senyum cakep, diam cakep, sakit cakep, bengong pun cakep. Ditambah mataku yang kelilipan Arfan bertahun-tahun, dia cosplay jadi Ninja Hatori pun bakalan aku bilang cakep.

Lama, Arfan terdiam hingga muncul kernyitan. "Baru pertama kali ada yang ngomong gini. Maksudnya, saya cakep pas senyum, terus mirip mafia kalau enggak senyum, Ai?"

"Iya, mafia kegamonan orang!"

Arfan malah tergelak.

Dasar! Dimintanya senyum, malah tertawa. Huh! Mana kesannya mengejek anggota federasi gagal move on yang bersahaja ini pula.

Sadar wajahku masam, Arfan batuk-batuk mengontrol tawa.

"Sori, sori. Gagal move on emang enggak enak. Saya ngerti. Tapi, tetep aja saya bersyukur kamu gamonin saya, Ai. Pengin tumpengan malah."

"Perasaan kemarin ada yang sok-sokan nolak. Deserve someone better than him, katanya," sindirku telak.

"Yah, itu kan kemarin waktu saya masih keselek masa lalu."

"Sekarang enggak?"

"Enggak. Obatnya ada di Ainara." Arfan nyengir. "Buktinya, sekarang sayang banget sama Ainara. Enggak mau lepasin atau biarin dia luka seujung kuku pun."

Lambe rombeng versus Ainara, ya jelas menang lambe rombengnya Arfan. I'm not his match.

Aku menggeleng. "Jangan diulangin lagi. Kamu bukan Iron Man yang enggak bisa luka."

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang