SEMUA orang dewasa pernah menjadi anak-anak sekalipun hanya sedikit yang ingat.
Rasanya baru kemarin aku lulus SD, berjalan sendirian setelah capek seharian sekolah, kehujanan mengantar pesanan risol semasa kuliah, dan mendapat buket cokelat dari Gladys ketika wisuda.
Waktu bergulir cepat. Hari-hari menyelinap pergi, mengingatkanku bahwa segala hal di dunia ini akan selalu berakhir sebagai kenangan yang mustahil terulang.
"Nara, prediksi cuaca numerik tadi udah selesai?"
Ainara Serafina
Weather Forecaster, BMKG
Sejenak, tatapanku berhenti pada post-it yang tertempel di sudut meja kerja. Lima tahun menimba ilmu di jurusan Meteorologi dan berhasil menyabet gelar lulusan fast-track ITB, kini petualangan lain menanti.
Bukan tanpa alasan aku terdampar di Stasiun Meteorologi Jakarta.
Pertama, aku tergila-gila pada langit sejak kecil. Kedua, profesi anak 'normal' menurut standar orang tuaku itu pegawai negeri. Ketiga, lima tahun lalu, aku masuk lewat seleksi CPNS sehingga penempatan kerjanya pun sesuai nasib dan kehendak Tuhan.
Begitulah cerita singkatnya.
Pandanganku terangkat. "Belum. Sebentar lagi, Bu."
"Tolong dipercepat, ya, sebelum jam makan siang."
"Baik."
Yang tadi itu Ibu Orka, rekanku di Kelompok Analisa dan Prakirawan. Stasiun Meteorologi tempatku bekerja dipimpin oleh Kepala Stasiun yang membawahi beberapa seksi serta kelompok jabatan fungsional. Aku bekerja di Seksi Data dan Informasi, tepatnya Kelompok Analisa dan Prakirawan.
Punggungku luar biasa pegal begitu tugasku usai. Aku meregangkan tubuh sejenak.
"Mau makan siang di kantin atau bawa bekal, Ra?" tanya Zia sembari beranjak. Meja kerjanya berada persis di depanku.
Aku melirik ke samping. Kulihat monitor pantauan aktual siang ini dijaga oleh Ibu Orka. "Di sebelah, Zi. Lagi pengin yang manis-manis."
Sebelah yang kumaksud ialah kafe retro yang menyediakan panganan tradisional yang dikemas modern. Letaknya tidak jauh dari kantor, hanya butuh jalan sepuluh menit.
Zia tersenyum. Begitu kami berpisah arah, aku menghela napas dalam-dalam.
"Dua puluh tahun, tiga bulan, sebelas hari..." gumamku.
Selama itu aku berpisah dengan Arfan. Layaknya troposfer, aku juga mengalami banyak siklus kehidupan. Kadang cuaca di hidupku buruk, penuh badai, kedinginan, namun adakalanya hangat secerah mentari. Tropein--berubah.
Ainara yang ini bukan lagi Ainara si alien tujuh tahun. Barangkali Arfan pun sama.
"Selamat datang, Miss Cuaca. Itu mukanya napa kusut amat, elah!"
Ledekan Gladys menyambutku kala pintu kafe baru saja terbuka. Seperti biasa, ia berjaga di belakang meja kasir dan langsung memasrahkan tugas pada karyawannya begitu melihatku berkunjung.
Kutarik kursi kosong di dekat jendela. "Pesen ice americano satu sama lupis ya, Bu Owner. Belum sarapan ini, makanya kusut."
"Cih, alesan! Kayak lo demen sarapan aja. Ainara yang gue kenal kan anti sarapan," cibir Gladys. Tajam dan menohok.
Aku cuma menjulurkan lidah. Yah, Gladys memang mengenalku sebaik ini. Kami masih bersahabat sekalipun sudah memiliki dunia masing-masing sekarang.
Bibirku masih enggan bersuara, bahkan ketika Gladys memilih duduk di depanku selepas meneruskan pesanan pada pegawai kafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomantikDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...