P R O L O G

47.5K 4K 439
                                    

AKU merasa salah planet. Elora bilang orang yang benci matahari itu alien. Alien kan tidak suka panas-panasan. Ensiklopedia juga bilang alien tinggalnya di luar angkasa. Jauh dari panas, matahari, dan manusia.

"Enggak ada, ah. Alien apaan? Bocil jangan percaya mitos!"

Tapi, Kadewa justru menggetok kepalaku dengan remote televisi sewaktu aku bertanya di mana tempat tinggal alien yang sebenarnya. Abang jelas-jelas tidak percaya kalau alien itu ada. Kata gurunya, bumi itu satu-satunya rumah yang bisa dihuni di jagat raya. Jadi, mana mungkin ada makhluk lain di luar angkasa?

"Alien itu enggak pernah ada, Ainara. Cuma istilah yang dibuat-buat sama manusia."

Demikian penjelasan Bunda Nafiza saat aku penasaran tentang cara hidup alien. Bu Na hanya geleng-geleng. Dia menasihatiku supaya jangan terlalu serius dengan tontonan kartunku. Katanya itu kan cuma hiburan.

"Ainara sakit?" Berbeda dari respons Abang dan Bu Na yang terang-terangan menolak keberadaan alien, Papa Rahman justru balik bertanya. Telapak tangannya yang besar mendarat di keningku. "Agak anget. Kayaknya demam, ya. Pantesan dari kemarin nanya-nanya alien punya temen atau enggak. Mau ke dokter, Ra? Ayo, Papa anterin."

Bahuku melorot lesu. Lenyap sudah harapan terakhirku. Papa ternyata sama saja seperti Bu Na dan Abang. Menganggap alien itu tidak nyata dan mengira aku demam karena penasaran.

"Papa, bawain Nara alien, ya?"

Karena Papa biasa membawa orang-orang ke tempat tujuannya dengan angkot--Bunda bilang itu 'penumpang'--kupikir tak ada salahnya meminta Papa membawakan alien untukku bila bertemu mereka di jalan.

Toh, niatku juga tidak buruk. Aku cuma ingin berkenalan, lalu melihat semirip apa aku dengan alien sampai Elora dan gerombolannya menertawaiku waktu aku bilang tidak suka main panas-panasan. Kalau beruntung, aku bisa mengajak alien tinggal di kamarku sehingga aku tidak perlu main dengan Elora lagi.

Papa mengerutkan kening. "Papa ini sopir angkot, Ra. Bukan sopir UFO."

"UFO itu apa?"

"Sejenis piring terbang," jawab Papa.

Mataku menyipit. Piring terbang? Bagaimana bisa piring dapat terbang? Apa piringnya punya sayap? Tapi, ensiklopedia bilang yang punya sayap cuma makhluk hidup seperti ayam. Jadi, apa mungkin piringnya nyolong sayap dari ayam?

Lalu, hubungannnya piring terbang dan alien itu apa?

Melihatku menggaruk-garuk kepangan rapi hasil karya Bu Na, Papa memutuskan untuk meminggirkan koran pagi yang dibacanya. Beliau menarikku bangkit dari duduk bersila di teras, memangkuku.

"Alien itu dateng ke Bumi pakai kendaraan, Nara. Namanya UFO alias piring terbang," jelas Papa. "Bentuknya kayak piring, makanya disebut begitu."

"Kenapa enggak pakai motor aja, Pa?" Kebingunganku makin menjadi-jadi. "Atau naik angkot Papa, bayar dua ribu perak. Murah."

Alih-alih menjawab, tawa Papa justru berderai. Perut empuknya yang kusandari spontan bergetar-getar.

"Ya Allah... mana bisa begitu, Nara. Entar bubar semua penumpang Papa kalau ada alien naik angkot."

Jadi, kusimpulkan bahwa Papa tahu dan percaya akan eksistensi alien, tetapi tidak suka dengan keberadaannya. Buktinya, Papa menolak membawakanku alien.

Kepalaku terkulai lemah.

Jika Papa saja tidak menyukai alien, apalagi Bu Na dan Abang yang sama sekali tidak memercayainya? Terus bagaimana denganku yang dikatai "alien" oleh anak-anak di sekelilingku? Apa mereka tidak menyukaiku juga?

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang