🎶 Now playing: Duncan Laurence - Arcade
MAU sekeras apa pun kamu mengejar sesuatu, jika bukan takdirmu pasti akan terlepas juga dari ujung jarimu. Mungkin begitulah jawaban dari doa-doa yang sering kamu panjatkan.
Silau cahaya membuatku menyipitkan mata. Kepalaku sakit. Badanku sakit. Segala-galanya sakit. Pusing menghantamku dari kanan-kiri. Mual.
"Mau minum, Ra?" bisik sebuah suara. "Atau mau gue gebukin si Arfan sampe modyar?"
Sedikit demi sedikit, kelopak mataku terangkat. Aku mengerjap, memfokuskan pandang. Gladys tampak duduk menyilangkan kaki di sofa putih. Ia mengedik pada sosok yang terlelap di samping ranjangku. Kadewa bersama ilernya.
Tanganku spontan terangkat untuk menyingkirkannya, namun selang infus menghentikanku.
Eh, infus?
"Si Barongsai telepon kemarin. Ngabarin lo masuk rumah sakit berdarah-darah. Bloody hell! Gue langsung lempar berkas dan batalin meeting buat ke sini. Abang lo juga. Dia lari ke sini di detik gue ngabarin. Enggak tahu dah keretanya disangkutin di mana pas sopirnya minggat gini," ulas Gladys.
Seakan tahu namanya disebut-sebut, Kadewa menguap lebar.
"Tidur lagi, Dek. Abang ngantuk," igaunya sambil puk-puk tanganku. "Kereta berangkat pukul lima. Tujuan Pasar Senen Jakarta-Semarang Tawang. Mohon periksa kembali barang bawaan Anda, jangan sampai ada yang tertinggal. Namun, bila kenangan pahit yang tertinggal, biar petugas kami yang membersihkan."
"Ih, Abang! Minggir!" Malah melindur dia. "Aku mau ke kamar kecil. Tangan kiriku ketindih."
"Lima menit lagi."
"Abang!"
Masih memejamkan mata, Kadewa terhuyung pindah ke sofa bed. Lanjut tidur di sana, mengabaikanku yang mengernyit jijik karena iler menempel di tangan kiriku.
"Sini, gue bantu, Ra." Gladys mengangkat selimut.
Baru kusadari aku mengenakan pakaian rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa kaku, terutama area di atas mata. Seperti ada yang mengganjal di sana dan itu membuatku pusing.
Entahlah, kenapa aku terdampar di sini?
"Kepalaku sakit banget, Dis." Tertatih, Gladys dengan sabar memapahku ke toilet. Jaraknya cuma tiga meter dari ranjang tempatku terbangun tadi. "Aku kenapa, sih? Kok bisa di rumah sakit? Kamu enggak kerja? Kadewa juga? Ini hari libur atau apa?"
"Gila aja gue sama Bang Kadewa ninggalin lo. Harusnya gue yang tanya, lo diapain sama si Kuyang itu sampe gegar otak gini, Nara?"
Tiang infus ditempatkan di samping toilet duduk. Gladys memastikan aku nyaman sebelum menutup pintu dari luar, membebaskanku menuntaskan hajat.
Aku termangu. Gegar otak? Si Kuyang? Itu sebutan Gladys buat Elora, kan?
Kepalaku lagi-lagi berdenyut. Andai tidak kebelet buang air kecil dan cuci tangan dari iler Kadewa, keinginanku cuma tidur. Sayangnya pertanyaan Gladys barusan memanggil rentetan peristiwa yang mengantarkanku kemari.
Ya, aku ingat Arfan menolakku. Dia bilang tidak bisa membalas perasaan siapa pun. Elora lantas mengonfrontasi kalau itu semua karena Arfan sudah bersumpah hanya akan mencintainya, jadi mati rasa terhadap siapa saja. Perlakuan buruk keluarga merupakan faktor lain yang mengukuhkan ketidakpercayaan Arfan pada komitmen di masa depan.
Masa depan.
Bibirku tiba-tiba mengering.
Seonggok gambaran Arfan bersanding dengan Elora, bahagia berdua, menggendong anak yang lucu, berpelukan sementara aku cuma jadi pelampiasan mendorongku mengamuk pada Elora. Dia yang tersulut akhirnya menamparku dengan tas tangan sampai aku jatuh membentur vanities.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomantikDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...