Part 13 | Wind Chill

17.2K 2.9K 691
                                    

KOMPOSISI gas-gas di atmosfer selalu mengalami perubahan baik dalam kurun waktu singkat maupun lama. Tidak selalu nitrogen 79 persen, oksigen 19 persen. Bisa jadi, nitrogen 78 persen, oksigen 21 persen. Aktivitas manusialah yang mengubahnya.

Seperti Arfan, pengalaman dan waktu mungkin telah mengubah komposisi memorinya. Buktinya, dia tidak mampu mengenaliku.

"Anda kenal saya?" Sekali lagi, Arfan bertanya. "Have we met before?"

Opsi satu, pura-pura semaput supaya tak dicecar lebih lanjut. Mikir apa aku menyapa random begini, padahal belum tentu dia kenalanku? Astaga, berapa sih jumlah orang di dunia ini yang punya nama Arfan?

Opsi dua, mengaku salah panggil dan yiha... pura-pura tidak kenal. Tengsin tujuh turunan kalau sudah sok akrab tapi malah ditanya 'kamu siapa?'

Opsi tiga, langsung ngacir. Se-desperate itukah aku sampai mengira semua orang yang punya nama Arfan adalah dia?

"Itu...." Aku memutar otak. Kosakataku buntu mendadak sehingga tanganku menunjuk sebuah titik. "Gelas. Itu gelas minumanku yang tadi diguyur ke mukamu. Iya, itu."

No, shit! Lambemu minta digerinda, ya, Ainara? Bisa-bisanya menabur garam di atas luka. Sekalipun dia cuma orang yang kebetulan punya nama sama dengan Mas Crush, empati sedikitlah.

Sesuai dugaan, alis lelaki itu terangkat. "Oh ya?"

Makin canggunglah aku.

Ringisanku terbit. "Maaf. Sebentar, Mas."

Lenganku lantas terangkat untuk meminta salah satu pegawai kafe membersihkan bekas kekacauan. Suasana kafe kembali normal saat handuk bersih diantarkan.

"Ini buat lap muka. Service dari kafe, Mas." Duh, inilah alasan kenapa aku tidak pernah cocok memanajemeni kafe. Semuanya kupasrahkan pada Gladys.

Aku mengulurkan handuk. "Americano lengket kalau kena kulit. Walaupun riset menunjukkan kopi bisa juga jadi masker, tapi bukan kopi yang diseduh pake air es, Mas. Yang ada malah iritasi."

Ngomong opo? Ngomong opo kowe, Ra? Mbok yo aneh jangan dijadiin first impression.

Awkward. Awkward. Awkward. Aku benar-benar tidak tahu harus mengubur diri di laut mana kala laki-laki itu mengangguk pelan.

"Thanks." Ia berdiri untuk menyambut handuk. "Saya ganti minuman kamu. I apologize for the inconvenience."

"No, no, no problem." Awkward lagi. "Bukan masalah besar kok. Masnya yang lebih butuh berhati-hati."

"Ya, ini bukan pertama kalinya," gumamnya singkat sebelum duduk kembali di kursi.

Aku melongo. Loh, loh, bukan pertama kali? Respons macam apa itu?

Maksudnya, dia pernah dibeginikan oleh perempuan atau keseringan berengsek makanya tidak kaget lagi diguyur minuman? Bagaimana, sih, konsepnya? Membagongkan.

Kupandangi punggung si lelaki berkucir yang kini asyik makan, padahal habis bertengkar dengan pasangannya. Sesantai itu. Nafsu makannya sama sekali tidak terpengaruh. Orang normal pasti lebih memilih angkat kaki dari kafe begitu terlibat keributan, eh, dia tidak. Lanjut makan.

"Porsinya kurang..." ucapnya pelan, yang masih tertangkap pendengaran.

Bahkan, sempat-sempatnya mengeluhkan porsi hidangan. Unbelievable!

"Bukan, pasti bukan...." Aku menggeleng horor.

Spesies akhlakless begini pasti bukan crush-ku. Arfando Melvin yang kukenal memang tengil, tapi dia tahu diri. Buktinya waktu aku terpaksa diseret menghindar dari kemarahan Bulik Ola, Arfan membuatkanku flower crown. Dia juga minta maaf secara terbuka setelah membuatku disosor angsa.

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang