"BURUNG kakaktua, hinggap di jendela. Nara sudah tua, kok masih jomlo aja."
Siklon tropis bisa memorak-porandakan sebuah kota, tapi Kadewa mampu memorak-porandakan semangat pagi makhluk sealam semesta raya hanya dengan nyanyian tengiknya.
"You're old! You're older than me!" Aku menimpuknya pakai bantal sofa.
Kadewa terbahak. "Yee... tapi aku kan enggak jomlo. Beda kasta, dong."
"Enggak jomlo tapi gonta-ganti cewek kayak ganti kancut!"
"Bukti pesona aing terlalu membutakan, hiya hiya hiya!"
Sinting! Marketing neraka memang seluar biasa ini. Dari Kadewa, aku belajar cowok ganteng itu kalau tidak berengsek, ya wibu. Papaku wibu, Kadewa berengsek. Kloplah.
Ia tidur-tiduran di sofa sembari mengganti channel televisi.
"Ke nikahan Gladys bareng siapa, Ra? Hi-hi, jangan bilang bareng Abang, ya. Slot Abang penuh."
"Dasar abang tiri! Adek sendiri dikacangin, anak orang diprioritasin." Aku mencebik. Punya abang tapi gunanya untuk tarung ya begini. "Kubilangin Bu Na, tahu rasa loh. Apalagi Papa. Disuruh jagain malah bodo amatin."
"Sok atuh. Palingan kamu disuruh pulang kampung terus dinikahin biar ada yang jagain." Kikikan Kadewa makin kencang. "Umur udah dua tujuh tapi belum pernah sekali pun ngenalin pacar. Bu Na khawatir tuh kamu jadi perawan tua."
Always backfire. Ujung-ujungnya mesti aku lagi yang kena.
Ya, ya, ya, dulu sewaktu masih remaja dan kuliah, aduanku pasti membuat Kadewa langganan disemprot Bu Na acap kali beliau tahu aku ke mana-mana sendiri tanpa ditemani. Sekarang? Yang ada aku dicecar balik kenapa belum punya gandengan.
Don't get me wrong. Orang tuaku bukanlah tipe nyinyir hanya karena anaknya belum menikah kok. Mereka cuma... khawatir.
Kadewa masih gonta-ganti pacar padahal usianya sudah kepala tiga, sedangkan aku jomlo dari lahir. Orang tua mana yang tidak ketar-ketir coba?
"Harusnya Abang dulu yang nikah, entar aku nyusul," gerundelku.
"Nyusul sama siapa? Jung-kook?" Kadewa melirikku sinis. "Dih, kayak Jung-kook mau sama kamu aja! Bangun, Ra. Bangun. Halumu mustahil jadi halupyutoo."
Man, Bapak Masinis satu ini bercocok tanam rawit di lambenya apa, ya? Gila, nyelekit sekali omongannya. Pakai bawa-bawa idola K-pop sepanjang masaku pula.
Kusambar tas di atas meja dengan bersungut-sungut. "Mau taruhan aku lepas status lajang duluan daripada Abang?"
Gayanya pamer rekor pacar, bawa satu ke depan Kanjeng Mami Nafiza saja tak berani. Lima kali lebaran mangkir pulkam. Kalau aku sih betulan karena tugas di BMKG--ya kali pantauan cuaca ditinggal--ini Kadewa menghindari dijadikan bulan-bulanan kapan nikah.
Terus gunanya dia pacaran apa coba?
"Ngapain taruhan begituan, Ra? Aelah, nikah bukan perlombaan kali," kelit Abang. "Tanpa taruhan pun udah jelas kamu pasti belakangan nikahnya. Nunggu Abang punya anak lima dulu. Kisah cintamu kan sekering gurun."
"Itu doa atau hujatan, Bang?"
"Bukan, sih. Cuma pembukaan war."
Astagfirullah, abang bukan sembarang abang. Sudah teruji quality control dan quality assurance, jaminan mutu, full sertifikasi, serta standardisasi julid antargalaksi.
Untung aku adik yang baik hati, jadi hanya balik mendoakan semoga kisah cintanya Kadewa gronjal-granjul ndlungup kelelep rasa biar dia tahu susahnya memperjuangkan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...