Part 4 | Arfan Effect

22K 3.2K 567
                                    

LELAKI playboy pantasnya diblusukkan ke blackhole.

Begitulah ajaran Papa dan Kadewa sedari aku kecil.

Waktu mereka menjelaskan apa itu playboy, aku tidak begitu paham dengan maksudnya dan merasa lebih tertarik pada serba-serbi blackhole. Kenapa dinamai blackhole, bukannya pink hole atau yellow hole? Kenapa setiap galaksi punya blackhole kalau gunanya cuma buat makan bintang-bintang? Kenapa benda langit tidak boleh berdekatan dengannya, bukan blackhole saja yang disuruh pergi jauh-jauh?

Papa luar biasa kelabakan menjawab cecaranku sehingga berinisiatif mencarikan aku ensiklopedia bekas. Itulah awal mula Papa rutin membelikan aku buku. Kalau ada sesuatu yang membuatku bertanya-tanya, katanya tinggal cari saja jawabannya di buku atau tanya Bu Guru.

Tapi sayang, guru TK-ku pun tak bisa menjawabnya. Yang ada aku malah disuruh langsung masuk SD, jangan TK. Bu Na dan Papa jadi terpaksa menurutinya. Habis libur semester ini, aku kelas satu.

"Nara kenapa ngerutin kening? Entar cantiknya jadi berkurang, lho."

Tepukan lembut Papa menyadarkanku dari lamunan. Beliau baru saja selesai mandi--terlihat dari sarung yang dikenakannya. Papa selalu pakai sarung sesudah mandi pagi dan sore.

Papa tersenyum. "Mau ngaji ya, Nduk? Sini, kerudungnya dibenerin. Miring itu." Ia duduk di kursi sebelahku. Tangan besarnya tahu-tahu merapikan penampilanku. "Bu Na yang masang, ya? Biasanya kalau Nara yang masang enggak pernah miring."

"Iya." Aku mengangguk singkat. Memang benar Bu Na yang tadi membantuku dengan terburu-buru biarpun aku mengatakan bisa sendiri. "Papa baru pulang?"

"Ho-oh. Sengaja pulang gasik biar entar malem enggak kecapekan pas jadwal ronda. Tahu sendirilah, Ra. Denda absen ronda kan enggak kira-kira. Seratus ribu. Bisa buat beli beras sepuluh kilo lebih," jelas Papa sambil mengeluh. "Bu Na bisa marah kalau uang belanjanya kepotong."

Lagi, aku mengangguk-angguk. Kurasa itu bagian yang paling menyeramkan. Kemarahan Bunda.

Mata hitam Papa kembali menatapku. Satu alisnya terangkat. "Kok tumben Nara diem? Biasanya kayak beo. Lagi mikirin sesuatu, ya?"

Kucoba untuk menirukan Papa. Mengangkat satu alisku. "Papa, apa di blackhole banyak playboy?"

"Maksudnya?"

Aku berpikir sesaat, berusaha menemukan sinonim yang tepat. "Apa di blackhole banyak laki-laki tukang gombal? Papa bilang laki-laki playboy pantasnya diblusukkin ke blackhole."

Jeda sepuluh detik. Papa menatapku, aku menatap Papa. Kemudian, tawanya meledak.

"Ya Allah, Raa... kirain apa. Enggak gitu jugaaa.... Kalau semua tukang gombal pantes diblusukkin ke blackhole, Papa termasuk, dong?"

Huh, maksudnya? Memangnya Papa tukang gombal?

Papa terkikik geli. "Hi-hi... buat dapetin bunda kamu, dulu tuh Papa pura-pura suka K-pop biar bisa lancar gombalin dia. Lihat, sekarang kamu di sini jadi bukti seberhasil apa gombalan Papa."

Mulutku membuka, ternganga.

Eh, bagaimana bisa? Waktu itu, Kadewa dan Papa kan mewanti-wantiku tentang ciri utama playboy yakni tukang gombal. Jika aku bertemu dengan mereka, aku wajib menjauh atau tampol saja.

Berarti aku harus menjauhi Papa dan Arfan?

"Ehem! Bukan gombalan juga sih sebenernya, Ra. Sekadar afirmasi buat naikkin level kepercayaan diri bunda kamu." Papa mengelus-ngelus dagunya yang ditumbuhi rambut kasar dan sering membuatku kegelian saat dicium. "Dia tuh cantik, tapi sering minder. Papa jadi gatel pengin nunjukkin kelebihannya, makanya sering muji bunda kamu cantik biar dia pede."

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang