Part 22 | Courting Tornado

11.4K 1.7K 600
                                    

SKALA topan bisa diukur dengan Saffir-Simpson. Kecepatan angin juga bisa diukur dengan Skala Beaufort. Namun, skala apa yang bisa mengukur kedalaman hati manusia?

Arfan langsung tersentak. "Are you okay, Nara?"

"Just kiss me. It's not a big deal, right?" ulangku sekali lagi.

Aku butuh untuk membuktikan sesuatu. Dan menebak-nebak bukanlah gayaku. Jika analisisku benar, maka aku ingin secepatnya keluar dari fase denial. Flight or fight.

Muncul kesangsian dalam ekspresi Arfan. Matanya menyipit. "Kamu enggak berhenti bikin saya kaget. Nara, kamu sadar sama apa yang kamu omongin barusan?"

Aku balas menatapnya. Saat ini, Arfan tidak tersenyum. Manik tajamnya menghunusku dengan tatapan serius. Hidung bangirnya mengerut, sementara bibirnya menipis skeptis.

Berbagai emosi silih berganti melintasi sorot matanya. Tidak jelas apa, namun aku tahu persis itu berhubungan denganku.

"Kenapa? Enggak sanggup ngelewatin batasan? Bukannya kemarin kamu sesumbar pengin cium aku setelah kita jadi temen, Arfan?" ungkapku santai.

Gestur dan nada bicaraku barangkali mencerminkan ketenangan. No problem. Chill.

Aslinya? Jangan ditanya. Jantungku serasa mau lari.

Mengapa Arfan berbelit-belit, sih? Apa susahnya saling templok bibir terus selesai? Aku cuma ingin tahu kejelasan perasaanku bagaimana. Apakah aku nyaman dengan sentuhannya? Apakah aku benar-benar menyukainya dalam versi tiga puluh empat tahun atau dalam hati masih menganggapnya empat belas tahun?

Gelengan Arfan menepisnya. Alih-alih menurutiku, dia langsung melajukan mobil ke jalan raya. Mengabaikanku yang masih memandanginya.

"Kamu kayaknya butuh jernihin pikiran, Ra. This is not what you want," yakin Arfan.

"Aku tahu apa yang kumau, Arfan. I'm twenty-seven, in case you forgot." Aku bersikukuh.

Kenapa dia kelihatan panik? Bukankah seharusnya si Paus senang karena tak perlu melancarkan seribu gombalan untuk menjatuhkan sang buruan?

Ke mana insting predatornya? Malah bersikeras membuat pikiranku kembali waras. Aneh.

Lagi-lagi Arfan menggeleng kencang. "Enggak, enggak. Kamu bakalan nyesel sehabis itu, Ra. Pertimbangin baik-baik."

"Aku udah pertimbangin, Arfan."

"Ini first kiss kamu?"

"First kiss atau bukan, terus apa masalahnya?" Reaksi Arfan benar-benar membuatku tak habis pikir. "Bukannya kamu udah biasa have sex sama segala macem cewek?"

"But I don't do kissing, Nara!" aku Arfan akhirnya. Raut wajah paniknya tak bisa lagi ditutup-tutupi. "Kissing and cuddling are big no for me. Terlalu intim."

Kali ini giliran aku yang tersentak. Terlalu intim? Maksudnya, Arfan menganggapnya spesial jadi cenderung menghindarinya? Dia lebih suka langsung masuk ke hidangan utama begitu? Wleowleo tanpa kissing?

"Really?" sangsiku.

Berarti yang kemarin-kemarin si Paus hanya menggertak?

Cengkeraman Arfan pada kemudi mengetat. "Saya mungkin berengsek, tapi saya juga punya manners, Nara. Kissing berpotensi melekatkan wajah dan aroma partner saya di kepala."

Sesuatu yang dihindari para playboy pembenci keterikatan.

Fakta itu sekonyong-konyong membuatku tertegun. Aku lupa sosok yang kuhadapi ini luar biasa antipatinya dengan komitmen. Orang-orang yang menghindari komitmen jelas membenci keterikatan. They don't associate with love or being settled.

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang