PERTANYAAN: Apa yang akan kamu lakukan ketika ada paus mengajakmu nyebur ke lautan untuk kali kedua, padahal tahu itu bukan habitatmu?
Cuma orang tolol yang akan menjawab setuju hanya karena si Paus berkata menyesal telah melepaskanmu di tengah laut sebelumnya. Dan sayangnya, aku bukan orang tolol itu.
Kakiku membentangkan jarak sepuluh langkah. Arfan masih membatu di tempat semula dengan senyum terkikis dari wajahnya.
"Kamu bilang enggak bisa bales perasaan siapa pun, tapi kamu pernah cinta sama Elora! Kamu bilang enggak main cinta, tapi kamu pernah beliin cincin buat Elora! Kamu bilang hati kamu udah lama mati, terus ngapain kamu ke sini?!" serangku marah.
Dia pergi waktu dia ingin pergi. Dia kembali waktu dia ingin kembali. Arfan pikir aku ini apa? Penampungan?
Berengsek! Segalanya sudah game over, apa-apaan Arfan mau menebus janji begini?
"Do you think my feeling is a joke? Kamu bilang enggak ada rasa, lalu detik berikutnya ngomong sebaliknya." Aku berang. "Aku udah nerima keputusan kamu tanpa kebencian apa pun. Enggak usah bikin aku benci seseorang untuk pertama kalinya karena keplin-planannya!"
"Saya jilat ludah sendiri, Ai." Arfan mengembalikan wajahnya ke mode tenang. "Dengan kamu, saya lupa enggak ada variabel mutlak di dunia ini. Saya berusaha lindungin diri dari rasa sakit lainnya. Saya takut ketergantungan sama kehadiran seseorang. Saya benci kebahagiaan saya ditentuin oleh eksistensi kamu. Pengalaman ngajarin saya buat enggak terlalu berharap sama manusia."
Tautan alisku meruncing, menolak luluh dan tetap menganggap ini hanyalah omong kosong Arfan.
Laki-laki itu menengadahkan kepala. Jakunnya bergerak naik-turun. "Selama bertahun-tahun, saya dedikasiin hidup saya buat nebus dosa. Mama meninggal tepat di depan mata saya. Pendarahan hebat. Saya orang terakhir yang dia genggam tangannya. Bagian paling mengerikannya, kesadaran bahwa permintaan saya yang pengin adik perempuanlah penyebabnya, nyekik saya dengan rasa bersalah."
Kekehan Arfan parau. "Tiap kali adik saya nanya, 'Mama mana, Abang?' saya enggak sanggup jawab, Ai. Pernah Ana nyaris gali makam Mama sambil nangis-nangis, saya hancur. Gimana bisa saya jelasin karena keegoisan sayalah Mama terbaring di sana? Saya enggak sanggup. Saya ceritain ini ke keluarga saya, tapi Bulik Ola bilang saya pembawa sial. Bude Lita juga bilang saya pembunuh. Sampe detik ini, saya ngindarin ziarah ke makam Mama karena rasa bersalah itu."
Cara Arfan menuturkan segalanya dengan tawa ringan sementara kristal bening mengaliri sudut matanya membuat keteganganku luntur.
Pelan tapi pasti, sikapku tak lagi sedefensif sebelumnya. Ini adalah penampakan lelaki putus asa yang tidak tahu lagi harus melakukan apa.
"I don't deserve anybody's love. Saya tumbuh di lingkungan yang ngajarin, 'kamu itu kesalahan. Mama kamu aja meninggal karena keegoisan kamu, jadi kamu dilarang egois dengan ngarepin cinta buat diri sendiri.'" Tangan Arfan mengepal. "Saya tumbuh dengan cap itu. Seumur hidup, saya enggak pernah dapet validasi yang lepasin cekikan di leher saya, makanya saya berusaha cari validasi dari luar. Mantan-mantan saya, saya manfaatin buat ngisi kekosongan itu sekalipun saya enggak bisa bales perasaan mereka, Ai. I bought them everything sebagai kompensasi atas keenggakmampuan saya libatin emosi."
Rekor percintaan Arfan hanyalah kedok untuk menyembunyikan sehancur apa dirinya. Dia benci dikasihani. Dia benci dipandang lemah.
Akan lebih baik jika orang-orang mengecapnya berengsek, alih-alih menatapnya penuh kasihan.
Seorang anak sulung yang menggantikan peran orang tua bagi kedua adiknya. Tak ada waktu baginya untuk berduka. Suka tidak suka, dunia memaksanya tampak baik-baik saja di bawah tekanan maupun keputusasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...