ARFANDO' POV
"AKU seneng nikah sama kamu, tapi aku enggak seneng nyalamin tamu. Tanganku pegel, Arfan."
Satu per satu, hiasan di kepala Nara dilepaskan. Kami baru saja mendarat di Kepulauan Seribu usai melalui serangkaian prosesi pernikahan.
Ayahku bulat menginginkan pesta besar-besaran, sedang orang tua Nara pun mendukung. Alhasil, jadilah pernikahan anak sulung dan anak bungsu terselenggara secara mewah di Jakarta.
Butuh persiapan dua bulan, syukurlah terlaksana tanpa halangan.
Nara tepar di kursi meja rias. "Aku nyinyirin pernikahan Gladys dua bulan yang lalu, bilang mau nikah atau ngadain war sampe tamu mereka dua ribu. Meanwhile, pernikahanku sendiri dua kali lipatnya, hu-hu!" Ia meratap. "Mana Ayah Zey sempet nyaranin pesta tiga hari tiga malem. Aku merinding, Arfan. Alhamdulillah, untung enggak jadi."
Dari refleksi cermin, aku hanya bisa tertawa-tawa. Prosesi adat Jawa memang ribet, tapi ditambah Zeyhan Malik jadi maha-ribet.
Proses merger perusahaan telah selesai. Didorong motivasi tersebut, Ayah melarang ide private party setelah akad. Katanya, ini kan kali pertama beliau punya menantu perempuan. Tambah anak perempuan di keluarga berarti perlu dirayakan.
Yeah, Ayah dan kecintaannya terhadap anak perempuan. Bukan rahasia lagi.
Sebagai kompensasi, aku menjadikan vila di pulau pribadi untuk membantu Nara dekompresi. Kami punya tiga hari bebas dari peradaban manusia beserta lika-likunya.
"Maafin Ayah, ya. Dia kelewat excited ada yang berhasil lurusin anak sulungnya, Ai. Ayah ngiranya Arfando bakal jomlo seumur hidup." Aku melepas beskap, kain dodot, jarik, menyisakan kaus putih penuh peluh. "Waktu pernikahan Ana aja resepsinya sampe tiga kali. Di Jakarta, Uluwatu, Singapura. Coba aja kamu terima saran pesta tiga hari, diturutin tuh."
"Enggak, enggak! Pesta sekali pokoknya cukup, Arfan. Cukup!" Nara menggeleng horor. "Udah modal tenaga, modal duit juga. Berlebihan namanya mubazir!"
"Kan, pake duit aku, Ai," kekehku.
Sapaan 'saya-kamu' yang resmi berganti menjadi 'aku-kamu' menandakan Nara keluargaku sekarang.
She is mine, di mata negara dan Tuhan.
Aku menuangkan segelas air putih, mengulurkannya pada Nara. "Iya, enggak pesta lagi. Paling nanti makan-makan keluarga sehabis kita pulang. Omong-omong, ini aku atau kamu yang mandi dulu? Badanku lengket, Ai."
"Aku dulu. Sumpek banget ini."
"Bareng aja gimana? Save the water, save earth, Ai."
Nara menabokku. Matanya melotot. "Modusnya, ya Allah!"
Meski nadanya galak-galak gumush begitu, aku bisa melihat pipi Nara dirembeti rona merah. Ha-ha! I love it.
Buru-buru Nara melarikan diri ke kamar mandi. Gelas minumnya bahkan dibawa. Ya ampun, Istri. Menggemaskan sekali salah tingkah begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...