SEMUANYA berlangsung cepat. Aku tidak tahu jeritan atau tanganku dulu yang melerai. Usahaku gagal total.
Arfan seperti mesin yang melempar Fathan ke tanah. Dia petarung terlatih. Aku bisa mengamatinya dari tangkisan-tangkisan yang Arfan berikan. Dia seolah mampu membaca gerakan apa yang akan dilakukan sang lawan.
Kesimpulannya, cuma orang gendeng yang berani menantang puting beliung macam Arfando Melvin.
"Udah, udah, ya Allah...."
Arfan menulikan telinga. Dengan satu tangan mencengkeram kerah kemeja Fathan, ia mengangkat tubuh Fathan tinggi-tinggi.
"Saya bukan makhluk penyabar. Sekali masih saya toleransi. Dua kali berarti kamu cari mati." Vokal Arfan rendah dan dalam, hampir menyerupai desisan. "Persetan berapa lama kamu temenan sama Nara, tapi yang barusan kamu lakuin udah melampaui batas. Jangan panggil saya Arfando Melvin kalau enggak bisa remukkin kamu sampe ke tulang-tulang!"
"Apa bedanya sama lo? Lo juga temen Nara, tapi lo nyium dia, bahkan bawa Nara sebagai gandengan di nikahan adek lo!" Fathan meludahkan darah dari mulutnya. Gusinya pecah. "Bro, enggak usah sok alim. Gue berengsek di mata lo? Lo pun sama. Cuma lo enggak nyadar aja!"
Usahaku dalam melerai keduanya sirna. Fathan dibanting ke tanah, sedangkan Arfan menghunus tatapan tajam.
Aku terpaku. Apa yang ada di pikiran Fathan sebenarnya? Amanah? Tadi Fathan sempat mengatakan itu sebelum sembarangan mengecup pipiku.
Menghubungkan kalimat Fathan barusan, rasanya aku mengerti sekarang. Fathan tengah menguji Arfan. Memaksanya berkaca dengan tindakan serupa yang pernah ia lakukan.
Gladys yang menyuruhnya?
"Nara cakep, pinter, dari keluarga baik-baik, punya bunda yang rajin video call buat tahu kabarnya tiap Jumat pagi, punya papa sama abang yang enggak bakal ikhlas lihat dia diperlakuin semena-mena," provokasi Fathan. Susah payah, ia menumpu bobot tubuhnya di atas kedua kaki. "Lo mikir enggak, sih, kalau lo nyakitin Nara berarti lo juga ikut nyakitin orang-orang yang sayang sama dia? Ayolah, ngaca! Lo marah karena gue berengsek? Sebagai orang terdekat Nara, harusnya gue yang lebih marah ke lo, setan!"
Itu mengonfirmasi pertanyaanku. Jelas Gladys yang menyuruh Fathan.
Napasku terhela lambat.
Karma does exist. Aku mungkin bisa memaklumi tindakan Arfan karena paham alasannya, namun beda lagi ceritanya dengan orang-orang terdekatku.
Dalam hal ini, Fathan mewakili suara orang tuaku, kakakku, sahabatku, serta orang yang menyaksikan aku tumbuh menjadi Nara yang sekarang. Arfan has offended them.
Tiba-tiba saja, aku mengerti mengapa hubungan sepasang insan sejatinya tak pernah hanya tentang dua orang. Memang aku yang punya perasaan, tapi aku kan bukan makhluk individual. Pikirkan juga sudut pandang orang-orang terdekat, bahkan anak-anakku kelak.
Aku mencari seseorang yang bukan cuma kucintai, tapi dia pun mampu mencintai orang-orang yang aku sayang, mencintai anak-anak kami, dan mencintai segala tentangku. A whole me.
Dengan Arfan yang alergi pada cinta, apakah dia bisa melakukannya?
"You're right." Arfan melepas kebisuan. "Saya berengsek, playboy kelas paus, laki-laki yang harus diwaspadai orang tua mana pun yang punya anak perempuan menarik, mimpi buruk bagi pecinta komitmen, dan sumber patah hati bagi perempuan yang mengkhayalkan fairy tale. I'm far from green flag man."
Telunjuk Arfan mendorong dada Fathan. "Tapi, itu bukan berarti saya enggak bisa berubah. Manusia itu dinamis. Waktu juga enggak statis. Hari ini, kamu mungkin lihat saya mukulin kamu sampe babak belur. Tapi, besok bisa jadi saya bayarin pengobatan kamu dan pastiin nano technology akan balikin wajah kamu seperti semula. Apa dalam dua waktu itu, kamu akan tetep ngecap saja bajingan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...