Part 3 | Flower Crown

22.3K 3.6K 519
                                    

JANGAN melawan angin kalau kamu bukan topan. Jangan melawan arus kalau kamu bukan banjir bandang.

Begitulah nasihat Papa setelah rampung melabrak Bude Wita, kemudian dilanjutkan dengan omelan Nyai Rahajeng. Badan Papa masih bau kecut sewaktu mengelus dada mendengar 'kisahku' hari ini dari Bu Na.

Kata Papa, "Ya Allah, jemuran orang kok buat mainan? Oalah, Ra... Ra... enggak boleh gitu. Entar kamu yang Papa jemur."

Sedetik kemudian ganti berkata, "Eh, tapi perasaan Nara tuh anak yang manis deh, Bun. Kalem, enggak neko-neko, kece kayak bapaknya. Ini pasti kepengaruh cucunya Ibu Nyai. Dia yang nakal tuh. Nara cuma ikut-ikutan. Iya, enggak, Ra?"

Dibanding anak Mama, aku memang lebih ke anak Papa. Senakal apa pun, Papa pasti membelaku.

Sayangnya, tidak semua pembelaan Papa berujung manis. Kadang malah membuat Bu Na makin kesal karena Papa diharapkan 'meluruskanku' tapi ending-nya justru mendukungku.

Akibatnya, aku jadi dihukum menyirami tanaman pagi-pagi keesokan harinya.

"A-haaa... dihukum Bunda. Kasihaaan. Nangis, nangis coba, Ra. Hiks, hiks... sroott...."

Adakalanya, aku merasa beruntung setengah mati memiliki abang, tetapi seringnya aku merasa ingin membuangnya ke tong sampah. Khususnya abang modelan Kadewa. Bukannya membantu meringankan kewajibanku, eh, dia sibuk tertawa-tawa di ambang jendela yang mengarah ke kebun, mengejekku.

"Lalalala... lihat kebunku penuh dengan Nara. Ada yang nangis dan dihukum Bunda."

Maka, kusiramkan saja air dalam gayung ke muka Kadewa. Nyanyiannya spontan terhenti.

"Huwa Bundaaa... Nara nakal, niiiihh. Bajuku basaaah...."

Ketika beo berisik itu akhirnya lenyap dari pandangan, aku tahu misi pengusiranku sukses. Biar saja Bu Na nanti mengomeliku lagi, yang penting Kadewa pergi.

Papa pernah berkata sesama saudara itu seharusnya saling menyayangi, tapi kalau Kadewa lagi tengil, halal sekali hukumnya untuk menyadarkannya. Kuharap 'menyiramkan segayung air ke mukanya' itu termasuk definisi menyadarkan supaya Papa nanti tidak ikutan mengomel.

"Kalau goyang, kublender akhlakmu, Satria."

Suara rendah bernada peringatan itu ganti mengalihkan perhatianku dari tanaman dan Kadewa. Jalanan kompleks masih amat lengang--paling hanya dilintasi gerobak tukang sayur atau bubur ayam, Bunda juga masih konsrang-kansreng di dapur, dan mayoritas orang tengah bersiap-siap untuk melakoni rutinitas.

Jadi, siapa yang pagi-pagi begini sudah sibuk di luar sepertiku?

"Pegangin yang bener, woi! Jatuh, entar benjol bokongku."

"Bang Arfan berat! Aih, kebanyakan dosa ini pasti."

Dua laki-laki tampak ribut sendiri di depan tiang jemuran yang tinggi. Aku mengenalinya sebagai si biang kerok aku dihukum Bunda.

Dibantu adiknya, Arfan naik ke dua kursi yang ditumpuk jadi satu untuk menjemur baju. Kursi itu kelihatan kurang stabil karena tenaga mungil Satria tak mampu menahan bobot tubuh Arfan. Akibatnya, tiang jemuran pun bergoyang-goyang mengikuti gerakan mereka.

"Ish... mending aku yang naik, terus Abang pegangin. Berat ini," protes Satria.

"Naik ndasmu!" Arfan menggerutu. "Entar bajumu ikutan basah kena tetesan air kayak aku. Yang ada malah kamu masuk angin, siapa yang repot? Aku!"

"Masuk angin, ya enggak pa-pa. Daripada tanganku pegel."

"Enggak pa-pa dari Hongkong! Kamu kalau masuk angin pasti muntah-muntah, demam, dan ngerengek semaleman, Sat. Aku jadi enggak bisa tidur, sibuk ngompres sama nyuci ember bekas muntahanmu."

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang