AWAN kumulonimbus merupakan sumber bencana cuaca. Evolusi dari kumulus kongestus, energi panas yang diakumulasikannya mampu menciptakan badai petir.
Namun, kuyakin aku tidak butuh awan berengsek itu untuk sekadar merasakan sensasi kesambar petir. Kata-kata Arfan saja cukup untuk menyambar kewarasanku sampai nyaris mokad di tempat.
"Kenapa? Katanya bersedia ngelakuin apa pun buat nebus kesalahan, Nara?" Smirk Arfan terpentang. "For your information, saat ini saya enggak butuh apa-apa selain perempuan baik-baik untuk pasangan."
He's so damn handsome and scheming with that smirk.
Luar biasa cerdiknya sampai aku tidak habis pikir dengan isi kepalanya. Luar biasa lihainya memanfaatkan keadaan sampai aku merasa ingin bertepuk tangan.
Sayang sekali, kali ini dia bertemu oponen yang salah.
"Pacar? Hm, such a strange word." Hanya butuh semenit bagiku memulihkan diri. Aku bersandar rileks ke kursi. "Apa motif kamu, Arfan? Setahuku, kamu bukan cowok kelainan yang asal nemplok ke cewek hanya karena kenal. Tell me, apa tujuan kamu?"
Maaf, aku bukan lagi cewek lugu yang tak tahu sejahanam apa dunia. Tidak peduli dia crush-ku, kalau menempatkanku di posisi susah ya siap-siap saja kuhajar balik.
Arfan menatapku. Agak lama, kemudian melempar kepalanya ke belakang. Tertawa bahak-bahak.
"As expected, Ainara si bocil bawel sekarang berubah jadi Ainara si cunning fox."
"And you're a sly jerk," cibirku frontal. "Dikasih sejengkal, mintanya sekilometer. Dasar! Cewek normal pasti udah guyur kamu pake air segalon."
"But you won't." Tawa Arfan turun satu level menjadi senyum geli. "Rasa bersalah kamu enggak akan ngizinin itu, Ra. Saya yakin."
You wish! Aku memutar bola mata.
Keterampilan argumentasi Arfan meningkat pesat dua dekade ini. Bukan karena dia jurnalis yang dituntut kritis, melainkan semua itu seolah sifat alaminya. Kata adalah senjata utamanya. Dia bisa memelintirnya sedemikian rupa asal tujuannya terlaksana.
Dalam hal ini, aku adalah tujuan Arfan. Dia berniat menggunakanku untuk mencapai tujuannya yang lain. Tujuan yang tengah berusaha kugali.
"Kamu tahu? Guilt tripping itu udah enggak zaman, Arfan. Aku emang berutang maaf, tapi bukan berarti aku setuju gadai jiwa ke setan," lemparku sarkastik. Filter mulutku mulai hilang. "Apa pun yang kumaksud di sini itu bantuan semampuku. Setiap hal punya batasan, Arfan."
"Nah, sepemikiran. Jadi pasanganku jelas kamu mampu, Ra."
Adakah rumah sakit jiwa yang kehilangan pasien bernama Arfando Melvin? Kalau iya, silakan seret dia dari hadapanku.
Sungguh, aku kasih upah seperangkat alat salat dibayar tunai sekalian biar langgeng dengan Arfan.
Bibirku berkedut. "Untuk terakhir kalinya, aku tanya apa motif kamu, Arfan?" Lama-lama aku jengkel menghadapinya. U-turn ini sama sekali tidak kuharapkan. "Don't give me a shit because I already have a ton of it!"
Arfan bergeming, tidak langsung menjawab. Wajahnya berubah tanpa ekspresi.
Aku mulai berpikir laki-laki ini punya dua kepribadian. Saat tersenyum, dia menjelma menjadi Arfan yang easy going. Tidak berbahaya sama sekali dan suka bermain-main.
Namun, begitu mode serius begini, dia kembali menjadi sosok asing yang kemarin. Kesan sulit dijangkau, misterius, dan dingin menguar dari bahasa tubuhnya. Tatapannya tak terbaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...