Part 11 | Lion Heart

16.5K 2.7K 316
                                    

Misi Malam Minggu : Berburu dedemit
Lokasi : Kos Harmoni
Alasan : Terlalu banyak gangguan gaib sampai men-trigger jiwa jomloque
Status : Aldefathan bukan hantu. Dengan ini, misi resmi dinyatakan gagal sebelum dimulai.


Varel tertawa ngakak tanpa henti melihat totebag dilepas pelan-pelan dari kepala Fathan. Di luar dugaan, pacar Gladys itu datang berkunjung ditemani sohibnya. Katanya apel sekaligus mengantarkan motor baru, disuruh mamanya Gladys.

Varel masih memarkir motor di halaman sewaktu Fathan pamit masuk duluan karena pengin minum. Eh, tidak tahunya totebag malah nyasar ke kepala Fathan dan raket nyamuk menggebuk dahaganya.

"Enggak pa-pa, Nara betah di sini. Barusan makan piza. Papa sehat?"

"Sehat, dong. Nara lagi apa?"

Untung dering telepon menyelamatkanku dari rasa canggung. Sengaja aku berlama-lama di teras mengobrol dengan Papa supaya tidak usah berbasa-basi dengan tamunya Gladys. Malu bukan kepalang!

"Em... enggak lagi ngapa-ngapain." Cuma lagi nyelametin harga diri. Aku berdeham. "Nara pengin denger suara Papa. Ceritain kabar di kampung, dong, Pa. Lagi ada apa."

"Oh iya, Papa baru inget." Terdengar jentikan jari. Bahuku merileks mendengar Papa dengan mudah percaya. "Tahu Elora, kan, Ra? Katanya dia enggak keterima di kampus negeri sini, jadi ikut ayahnya yang ekspatriat. Lanjut sekolah di luar negeri. Bude Wita kemarin ikut pindah, makanya sekarang rumahnya kosong..."

Sisa percakapan tidak lagi kudengar karena telingaku lebih dulu berdengung panjang. Sekujur tubuhku mendingin begitu nama keramat itu disebut-sebut.

Elora... satu teror yang menghantui masa kecilku. Enam tahun aku dirundung gengnya, bahkan sampai memilih sekolah yang jauh dari rumah. Dia membuatku tidak bisa tidur dengan lampu dipadamkan hingga sekarang. Dia membuatku tidak bisa berada di ruangan yang sempit.

Dia memenjarakanku dalam klaustrafobia. Sampai sosoknya tidak ada di sekitarku pun aku belum bisa sepenuhnya lepas dari kenangan buruknya.

"...Ra? Halo? Nduk, kamu baik-baik aja?"

Seruan Papa membuatku menelan ludah. "Oh--eh... anu, baik, Pa. Aku cuma baru inget ada tugas yang belum kukerjain. Udah dulu, ya. Assalamu'alaikum."

Tanpa menunggu salam balik, kumatikan sambungan telepon dengan tangan bergetar hebat. Tak sanggup lagi berpura-pura tenang di saat pertahananku kacau balau.

Ternyata aku belum sekuat itu. Ada hal-hal yang tidak mampu kuhadapi sekalipun masa telah berlalu, khususnya Elora. Enam tahun di-bully menyetir ingatanku ke periode nahas dulu saat seseorang menyebut namanya.

Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Pelan-pelan, kuketikkan chat berisi permintaan maaf pada Papa karena menutup telepon secara sepihak. Tadi itu tidak sopan, aku tahu. Yang ada Papa nanti khawatir aku kenapa-napa.

"Ra, sini masuk. Varel bawa martabak telor tuh. Makan bareng-bareng, kuy!"

Ajakan riang Gladys mendorongku mengangguk.

Ya, seharusnya sudah tidak apa-apa. Aku aman di sini. Tak ada Elora maupun gengnya. Tak ada yang mengataiku alien setiap hari. Gladys bukan Elora. Aku normal di mata semua orang sekarang.

Di ruang tamu, Fathan memasang wajah kecut mendapati kehadiranku. "Ini toh pemilik raket nyamuk anti maling," satirnya. "Beneran temen sekamar lo, Dis?"

"Beneranlah. Gimana, gimana? Cakep, kan?" Gladys menaik-turunkan alisnya.

Bibir Fathan mencebik. "Cakep, tapi lebih cakepan lo banget-banget."

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang