SCHOOL confession wall merupakan sarana khusus yang disediakan oleh SMP Mandala Satria dalam mewujudkan slogan 'bersih lingkunganku, berbudi itu karakterku'. Mirip mading biasa, para siswa bebas melampiaskan unek-uneknya menggunakan identitas anonim.
Dari selentingan yang kudengar, katanya waktu terbaik untuk memajang unek-unek itu pagi sehabis subuh atau malam jam maling. Dijamin aman tanpa takut kepergok siswa lain.
Aku jelas bukan tipe dua-duanya. Berangkat sekolah pagi-pagi bisa dibilang perjuangan karena rumahku jauh. Pulang sekolah kemalaman pun bisa-bisa dicari warga sekampung seperti dulu.
Jadi, katakan... idiot mana yang menyatakan cinta padaku di school confession wall?
"Ihirrr... Ainara ada yang suka. Mau jadi ayangnya enggak tuh, Ra?"
"Terima, terima, terima! Jangan lupa pajak jadiaaan...."
Sorak-sorai menjengkelkan di sekeliling makin membubuhi kobaran emosiku. Pajak jadian mbahmu! Tulisannya saja gelay begitu apalagi orangnya? Mereka ini mau menjorokkan aku ke lembah kealayan? Hih!
"Enggak mau!" tegasku sebelum menyingkir dari area school confession wall dengan mengentakkan kaki.
Bukan tanpa alasan aku menolak mentah-mentah terlibat cinta monyet. Kehidupan sekolah kan pada dasarnya tak seindah sinetron. Tumpukan pe-er, ulangan, tugas kelompok, kuis, kejar-kejaran ranking kelas, bahkan ekstrakurikuler lebih mumet untuk dipikirkan.
Aku sudah menghabiskan masa SD dengan dibayang-bayangi oleh Elora, kali ini tentu aku ingin membuat orang tuaku bangga.
Terserang puber? Bah! Aku lebih memilih puber dengan idola K-pop. Biar standarku setinggi satelit, elite, dan sulit sehingga tak ada remaja planet Purwokerto yang sanggup menggapai kriteriaku.
Spek Choi Si-won, Park Chan-yeol, Jeon Jung-kook... siapa yang kuat menandingi?
"Ainara Serafina, aku suka sama kamu."
Namun, rupanya aku terlalu gegabah. Ketika remaja berseragam basket yang jadi biang kerok pernyataan cinta alay mendatangiku di kelas, aku menyesal tak mencetak bando 'persetan cowok dunia nyata, aku sukanya oppa Korea' buat mengusir cinta yang tidak diinginkan.
Kerumunan perlahan terbentuk di depan kelas.
"Kamu cantik, lucu, manis pas senyum, imut--pokoknya tipeku banget. Aku udah suka kamu sejak jadi pembimbing di MOS." Eka Ardiona Ong, kakak kelas populer sekaligus ketua tim basket SMP Mandala Satria, memamerkan senyumnya. "Ainara mau jadi ayang enggak?"
Masih diam, pikiranku blank.
Dion memang pembimbing kelompokku saat MOS. Wakil ketua panitia penerimaan siswa baru malah. Kami cuma kenal selintas karena aku lebih suka menjadi pendengar. Palingan aktif buka mulut waktu ada kuis.
Interaksiku dengan Dion bisa dihitung jari. Jika bukan bertanya perihal kelompok, mentok-mentok tanya tenggat pengumpulan tugas MOS. Aku bahkan hampir lupa siapa namanya andai tidak melihat badge nama di seragam Dion.
"Oh...." Ketika sorak-sorai dan ciye-ciye mereda, kupaksakan bibirku untuk mengulas senyum tipis. "Kak Dion suka sama aku? Wah, sama. Aku juga suka diriku sendiri. Pengin banget jadi ayang buat diri sendiri."
Teramat suka. Kalau bisa mau kembaran diri sendiri buat jadi ayang tercinta. Love myself more.
Muncul ekspresi cengo dari orang-orang yang mengerubungiku. Dion mangap lebar.
"Kok..." mata laki-laki itu mengerjap, "...begono? Bisa-bisanya...?"
Apa? Aku benar, bukan? Daripada serius-serius lebih baik dibelokkan untuk kampanye mencintai diri sendiri. Kan, masih SMP. Lagi rawan-rawannya insecure.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...