Part 8 | Me n U

16.1K 2.8K 342
                                    

KALAU ditanya masa-masa apa yang paling kubenci, sudah pasti aku akan menjawab masa SD.

Pertama, aku satu SD dengan Elora. Kedua, tidak ada Arfan di sana. Ketiga, guru-gurunya seakan tutup mata pada kenakalan muridnya.

Hanya karena aku kelepasan menertawai Elora pada momen tes masuk sekolah dasar, Elora memastikan aku tidak memiliki waktu tenang.

"Kalau siang ada matahari, malam ada...?"

"Hantu!" jawab Elora.

Bodoh sekali, kan? Aku normal. Manusia normal mana yang bisa menahan tawa waktu mendengar itu? Guru yang memberi pertanyaan saja ikut tertawa sampai napasnya bunyi 'ngik-ngik'.

Sialnya, Elora menatapku kesal saat aku menjawab, "Bulan," dan dihadiahi pujian.

Tiada hari tanpa gangguan dari Elora setelahnya. Mematahkan pensilku, menyembunyikan tasku, merobek buku tulisku, bahkan melempar sepatuku ke genteng sekolah. Elora mengusiliku bersama geng-gengnya--bayangkan, anak SD sudah punya geng--sementara aku tidak berani mengeluhkannya.

Kenapa aku tak melapor ke guru? Sudah, dan jawabannya selalu... "Elora, jangan kayak gitu ke Nara. Yang rukun mainnya...," terus bully-an Elora makin menjadi karena nihil sanksi tegas. Ujungnya aku yang kapok melaporkan.

Kucoba untuk mengadukannya pada Bu Na, tapi dia bilang... "Kamu yang enggak bisa menyesuaikan diri kali, Ra. Biasanya anak yang enggak membaur itu rentan dinakalin sama yang lain. Coba lain kali kamu baik-baikin Elora sama temenmu biar enggak digituin lagi."

Jadi, aku menyerah. Kurasa orang dewasa memang menganggap perbuatan Elora dan kawan-kawannya bukanlah apa-apa. Masalahku tidak lebih besar dari mereka.

Masalahku tidak seserius Papa yang mengkhawatirkan esok mesti makan apa jika tidak bekerja. Masalahku tidak seberat Bu Na yang pusing mengatur keuangan rumah tangga setiap harinya dan memastikan kami tidak kelaparan di akhir bulan.

Atau masalahku tidak serumit Kadewa yang mengalami patah hati di masa SMP-nya.

Mungkin aku yang terlalu membesar-besarkan atau payah dalam mengatasinya di saat mereka yang punya masalah lebih berat saja sanggup menghadapinya.

"Apa nama Jepang dari BPUPKI?"

"Dorayaki!"

Konflikku dengan Elora memuncak ketika tawaku lagi-lagi meletus sewaktu guru IPS kelas lima memberikan kuis dan Elora menjawab dengan penuh percaya diri.

Harusnya Dokuritsu Junbi Cosakai yang benar. Aku membacanya di buku Introduction to History. Entah kemasukan apa Elora sampai menjawab ngawur begitu.

Tindakanku menggiring Elora serta kroco-kroconya mengunciku di kelas seusai piket. Teman-teman memasrahkan tugas merapikan alat kebersihan padaku karena mereka buru-buru pulang melihat langit mendung dan kilat menyambar-menyambar. Aku baru selesai menata sapu di pojok ruangan sewaktu menyadari pintu kelas tidak bisa dibuka.

"Uhuuu... selamat nginep di kelas, Ainara. Hati-hati ada hantu buntung, hihihi...." Elora tertawa-tawa di baliknya.

Apa yang bisa diharapkan dari bocah SD kelas lima yang dikunci sendirian? Tentu saja panik. Langit di luar gelap, sebentar lagi hujan badai. Memikirkan sekolah sepi dan potensi bermalam di sini membuatku menggedor pintu gila-gilaan.

"Buka! Elora, buka! Di sini gelap! Elora, buka...!"

Tanganku sakit. Jantungku menderu, tubuhku gemetaran. Namun, Elora melenggang pergi tanpa memedulikanku sama sekali.

Aku mulai memikirkan cara lain. Angin yang menampar-nampar jendela memberitahuku jalan keluar alternatif.

Benar. Meski tinggiku tidak bertambah signifikan dari masa kanak-kanak, aku bisa keluar dengan memanjat jendela tinggi.

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang