ANOMALI cuaca dikenal juga sebagai cuaca ekstrem. Kedatangannya sering tak terduga, tapi kemungkinannya selalu ada.
Aku menerka hidupku terlalu anyep, makanya Tuhan mengirimkan anomali dalam bentuk Elora. Mempertemukannya di mana saja saat mood-ku sedang jatuh-jatuhnya.
"Jodoh banget. Temen kantorku lagi ngadain traktiran naik jabatan di sini. Bareng, yuk, Mas!" ajak Elora tanpa menggubris kehadiranku.
Air muka Arfan berubah dingin. Secara sengaja, ia mengabaikan Elora dengan ikut membaca buku menu yang tengah kutekuni.
"Bingung mau makan apa, Ra? Makanan yang kemarin delivery dari resto ini loh." Arfan malah menyinggung agenda makan malam sewaktu dia sakit. "Coba pasta atau steak ayamnya. Sausnya nagih."
Aku menelan ludah. "A-ada ice americano enggak?"
"Kamu ngopi sore-sore gini?" Alis Arfan kontan terangkat. "Ada kayaknya. Tapi emang cocok sama makanan yang mau kamu pesen?"
Dapat kuamati senyum Elora rontok sejadi-jadinya. Kepalaku terasa pening luar biasa saat akhirnya dia memandangku. Aku refleks membuang muka.
Dear panic attack, tolong jangan kambuh sekarang. Kilasan buku-buku yang dirobek, sepatu yang dibuang ke genteng sekolah, ruangan kelas yang gelap... kumohon jangan muncul.
Jangan sekarang, apalagi di depan orang. Aku benci menunjukkan kelemahan.
Dalam diam, aku mengisi paru-paruku yang mulai tersengal. Tanganku dengan cepat bersembunyi di bawah meja, menusukkan kuku-kukuku ke telapak tangan.
Tetap waras, Ainara. Tetap waras.
"Ini temen kamu, Mas?" Lagi, Elora mencoba merebut perhatian Arfan dengan menunjukku. "Kok enggak dikenalin ke aku? Eh, kenalin dong."
"You know her." Kening Arfan langsung bergelombang
"Oh ya?" Mata cokelat terang Elora membola. "Eh, sori aku lupa. Efek tinggal lama di Islandia, jadi enggak ngeh. Siapa namanya, Mas? Barangkali aku inget."
Arfan mendengkus malas. Alih-alih menanggapi, ia justru tersenyum miring padaku.
"Such a person didn't deserve to be your cousin, Nara. Si Paling Lama di Luar Negeri," ejek Arfan terang-terangan. Mulut tajamnya tak ragu mencabik harga diri seseorang.
Laki-laki itu beranjak dari kursi. "Udah tahu mau pesen apa, Nara? Si waiter kayaknya lagi riweh. Sini biar saya aja yang orderin ke konter."
Aku berkedip cepat seakan bisa membaca niatnya. "Pa-pasta sesuai rekomen-dasi ka-kamu aja," jawabku terbata.
"Oke. Bentar, ya." Arfan mengangkat jempol.
Bulir keringat mengalir deras menuruni punggungku. Tanganku lembap. Sepeninggal Arfan, Elora sama sekali tak bersuara. Hanya berdiri di samping meja, diam seperti patung sekalipun tak dianggap. Begitu saja sudah cukup mengintimidasi.
Let me tell you something. Aku tidak takut pada Elora. Sama sekali. Namun, entah mengapa tiap kali menghadapinya seperti ini bawaannya pengin menunduk. Menghindari hunjaman tatapannya. Kilasan-kilasan buruk mengikuti, membuatku tak nyaman setengah mati. Perutku ikut melilit sampai aku buru-buru pamit.
"Permisi. Saya butuh toilet," ucapku tanpa mendongak.
Masa bodoh dengan persetujuan Elora, aku ngeloyor pergi dengan membawa diri. Menghindar, menghindar, itu yang aku butuhkan.
Suasana toilet yang lengang sedikit meredakan isi kepalaku yang awut-awutan. Aku langsung membuka keran wastafel guna membasuh muka. Air dingin mungkin bukan solusi yang tepat mengingat keinginan pulangku melonjak.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...