Part 7 | The Little Flower

16K 3.2K 531
                                    

NO matter how poor you think you are, if you have a lovely family, you have everything.

Papa pernah berkata itu artinya 'tidak peduli seberapa miskin dirimu, jika kamu punya keluarga yang bahagia, maka kamu memiliki segalanya'.

Waktu itu, aku tidak begitu mengerti maksudnya, tapi Papa kemudian menerangkan kata-kata tersebut memang tidak penting untuk dimengerti namun dipraktikkan. Dan Papa berjanji dia juga Bu Na akan berusaha mewujudkannya untukku dan Kadewa. Sesusah apa pun rintangannya.

"Papa emang cuma sopir angkot, bukan anak bos, Ra. Bu Na juga ibu rumah tangga biasa. Tapi, kami janji enggak akan biarin kamu sama Kadewa kekurangan apa-apa. Apa pun cita-cita kalian, apa pun kepenginan kalian, selama itu baik, Papa sama Bu Na akan berusaha wujudin. Jangan takut, ya, Nduk."

Selama ini, aku hidup dalam kehangatan yang mereka hamparkan. Sama sekali tak pernah mengira ada anak lain yang mengalami hal sebaliknya. Kupikir asal tinggal di rumah, ya berarti punya keluarga. Yang peduli dan perhatian sepanjang waktu.

Nyatanya, Arfan tidak.

Dari 'curhatan' yang kudengar, dia menjalani hari yang buruk di rumah Nyai Rahajeng. Terlampau buruknya sampai aku bingung mesti berkata apa sepanjang perjalanan pulang dari melihat bintang.

"Gimana tadi? Aku enggak bohong, kan? Beneran ada hujan meteor, Cil!" kata Arfan tersenyum. "Bagus banget! Tapi udah malem, kakiku bentol banyak digigitin nyamuk. Lihat, nih, nih! Ini juga. Gatel."

Andai aku tidak menyaksikan sendiri bagaimana ia terisak-isak hingga matanya sembap, pasti aku mengiranya badut galaksi. Cuma perlu menghapus air mata, Arfan membawaku ke ujung makam. Lumayan jauh sampai tiba di tebing yang berbatasan langsung dengan sungai besar. Telunjuknya terpentang ke angkasa.

Pemandangan langit sore, sungai, dan celotehan nonstop Arfan seakan menghapus jejak kesedihan yang sempat melingkupi kami. Lambat laun aku terhanyut dan baru ingat pulang usai hari gelap sempurna.

Tangan Arfan merangkulku. "Capek enggak, Cil? Mau aku gendong?" Ia menekuk satu lututnya. "Naik, gih! Jalanku gancang, jadi cepet nyampe rumah."

Aku yang memang agak mengantuk sehabis makan cookies banyak, tentu tak bisa menolak. Kuserahkan sandalku pada Arfan, lalu naik ke punggungnya. Empuk.

Arfan terkekeh saat kepalaku bersandar nyaman di pundak lebarnya.

"Kayak pundaknya Papa..." Hangat dan mirip bantal. Enak buat tidur. Aku mengusap-usapkan kepalaku padanya. "Arfan papa juga?"

"Belumlah, cuma cosplay jadi Papa buat Satria sama Ana." Arfan menjawab ringan seraya melanjutkan langkah. "Kamu sering digendong sama papamu, ya?"

"Apa itu cosplay?" Aku menguap. Kukira setiap laki-laki yang punya pundak empuk itu berarti papa juga. Ternyata bukan, ya. "Papa suka gendong Nara. Bu Na juga. Kadewa sama, tapi Nara enggak suka. Punggung Kadewa keras kayak batu. Bagusan buat dipukul."

Arfan tertawa. "Ya Allah, kamu nakal banget, Cil..." Tanggapannya tidak menerangkan apa pun tentang arti cosplay. "Omong-omong, kenapa kamu manggil ayah-ibumu 'Papa' sama 'Bu Na'? Bukannya 'Papa' itu pasangannya 'Mama', Cil?"

Lagi, aku menguap lebar. Mengantuk sekali. "Soalnya kalau panggil 'Mama' nanti sama kayak Bu Na manggil Nini. Bu Na enggak suka. Maunya dipanggil 'Bunda' aja. Tapi, Papa enggak suka dipanggil 'Ayah'. Nanti sama kayak Papa manggil Yangkung," beberku.

Salah satu bentuk ketidaksepakatan Bu Na dan Papa. Di keluarganya, Bu Na memanggil Nini dengan sebutan 'Mama', padahal 'Mama' kan pasangan panggilan 'Papa'. Bu Na merasa aneh. Jadi, sekalipun Papa Rahman suka panggilan 'Papa', Bu Na menolak dipanggil 'Mama'. Demikian halnya Papa yang menolak dipanggil 'Ayah' mengingat itu pasangan panggilan 'Bunda'. Katanya serasa memanggil Eyang Kakung.

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang