Part 32 | Heart' Rotation

13.3K 1.8K 449
                                    

AWAN hitam biasa berkumpul sebelum hujan turun. Densitasnya menyebabkan cahaya matahari sulit menembusnya sehingga terlihat gelap dari permukaan bumi.

Aku berhenti mendongak ketika denyutan di kepalaku meningkat. Langit mendung pagi ini, tapi mataku tetap sensitif pada cahaya. Suara-suara tak ketinggalan membuat kedua telingaku sakit. Karenanya, Kadewa mempertaruhkan jatah cutinya demi mengantarku pulang ke Purwokerto menggunakan mobil.

"Kamu tidur di jok belakang gih, Ra. Sia-sia Abang bawa MPV-nya Gladys kalau kamunya melek sepanjang jalan."

"Aku bosen tiga hari tiduran terus." Kusentuh jahitan tiga senti di dahi kiri. Bagian itu menghambat rutinitasku sampai perlu cuti sakit. "Nanti, deh. Kalau udah capek, aku pindah ke jok belakang. Abang jangan lupa berhenti di rest area juga ya kalau capek."

Kadewa tidak menjawab dan memilih fokus mengemudi. Sepertinya dia tahu sekeras kepala apa aku. Di dunia ini cuma Papa dan Bu Na yang sanggup membuatku menurut.

Bosan, aku meraih ponsel di dasbor.

Si Paus:
Nara, kamu udah keluar dari rumah sakit?

Si Paus:
Maafin saya.
I really want to see you, Ra.


Tiga pesan, sebelas missed calls, tujuh video calls terlewat dari Arfan.

Aku menatapinya lama. Secara otomatis, jemariku tergerak membalas tapi mendadak terhenti begitu ingat kesepakatan kami telah usai.

Kamu tahu kenapa Arfan manggil kamu 'Ra'? Itu adalah cara Arfan manggil aku--my Ra.

Apa Arfan sedang butuh pelampiasan lagi, makanya menghubungi? Kenapa dia tidak pergi pada Elora atau selegiun mantannya saja?

Nilai diriku terlalu tinggi untuk jadi pelampiasan seseorang. Dia bisa cari yang lain.


Si Paus:
I miss you, Nara.



Refleks, aku melempar ponsel. Kadewa kebagian "aduh!" ketika benda pipih itu mengenai pahanya.

"Apa sih, Ra? Inget kamu masih rawat jalan. Walaupun gegar otak ringan, tunggu baikan dulu kalau mau ngereog!" Ia mengomel-ngomel.

Astaga, apa itu tadi? Ponsel Arfan dibajak sampai mengirimi pesan laknat?

"Abang, tahu kan enkripsi end to end enggak bisa ngejamin gadget seratus persen aman dari penyadapan?" Aku mengabaikan raut jengkel Kadewa dengan menyerocos panjang lebar. "Apalagi, social engineering sekarang canggih-canggih. Sekadar bajak ponsel mah kerjaan ringan."

"Kamu ngomong apa, Ra? Abang manusia, enggak bisa bahasa planet Asgard!" kesal Kadewa.

Bibirku terkatup. Oh, aku lupa Kadewa bukan Arfan. Penjelasan berbau sains maupun teknis tak sudi ia dengarkan sampai akhir. Yang ada aku dicap aneh.

"Iya, maksudnya aku dapet chat abnormal...." Jemariku memilin-milin tepian hoodie, memungut ponselku kembali. "Chat-nya kayak bukan dia banget. Jadi, aku pikir ponsel dia dibajak."

"Ya, tinggal cuekin. Apa susahnya? Enggak usah ribet, deh, Nara!" dengkus Kadewa.

Pupus sudah harapan untuk membahas. Aku mengangguk pelan lantas melempar pandang ke luar jendela mobil.

Bagi sebagian orang, masalahku memang tidak sepenting itu. Saat aku butuh didengar, jarang ada yang bersedia sungguh-sungguh mendengar. Kebanyakan menanggapi hanya agar aku berhenti bicara.

Beda sekali dengan Arfan. Dia akan mendengarkan sampai selesai, mau se-random apa pun topiknya. Sekalipun tidak tahu, dia berusaha menanggapi sebisanya. Bukannya memotongku.

A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang