SEMUA orang jahat pantas dibarbekyu di neraka dan semua orang baik pantas leha-leha di surga. Kata Papa, anak nakal itu termasuk orang jahat, makanya aku harus jadi anak yang baik.
Walaupun begitu, tetap saja ada momen-momen di mana aku lebih suka jadi anak yang jahat. Seperti tertawa puas kala menyaksikan Arfando dijewer Nyai Rahajeng, misalnya.
"Nara kuwi bocah, Arfan. Lewih cilik dari kamu. Bisa-bisanya diledek sampai nangis!"
"Aaaaaakkk... ampun, Eyang. Ampun...."
Karma instan. Aku tidak menangis sewaktu Elora dan kroco-kroconya mengataiku alien. Aku juga tidak menangis saat keningku berdarah ditimpuk truk-trukan kuning Elora. Agak sulit membuatku meneteskan air mata.
Abang juga mengakuinya sampai-sampai dia menyebutku "anak berhati baja"--jujur, aku tidak paham apa artinya. Ensiklopedia bilang hati manusia kan tersusun atas sel parenkimal dan sel non-parenkimal, bukan baja.
Jadi, waktu aku benar-benar menangis, Bunda seketika datang dan melaporkan si biang kerok pada orang tuanya.
Kembali kutatap sosok remaja yang tengah dihukum di pekarangan Nyai Rahajeng. Bu Na masih mengelus-ngelus kepalaku sambil berkata, "Udah atuh, Bu Nyai. Nara enggak pa-pa. Kasihan itu si Arfan telinganya udah merah banget."
Logat Sunda Bunda agak bertabrakan dengan sergahan medok Nyai Rahajeng, "Ndak pa-pa gimana? Aduh... cucu saya ini memang nakal, Bu. Sekali-kali perlu diajar! Kalau ndak, bisa makin bandel dia!"
"Diajarnya pake cium aja, Eyang. Aku alergi ciuman," erang Arfan menyahuti. "Apalagi ciumannya eyang. Tapi, kalau ciumannya Shizuka sih rapopo."
"Ngomong apa kamu! Sizuka sopo, heh?" Jeweran Nyai makin menjadi. "Masih kelas dua SMP wis berani macem-macem, ya. Gitu didikan bapakmu?!
"Enggak macem-macem kok, Eyang. Cuma satu macem."
"Heleh, malah jawab!"
Melihat hilal perdamaian tak kunjung terbit, Bunda akhirnya menggeleng pelan. Beliau menurunkanku dari pangkuan.
"Ra, kamu beneran udah enggak pa-pa, kan? Keningnya masih sakit?" Tatapan lembut Bu Na menelisik plesterku. "Pusing enggak? Nanti mau ke dokter sama Papa?"
Aku menimbang-nimbang sejenak. Kuputuskan untuk menggeleng.
"Ya udah..." Akhirnya Bu Na mengembuskan napas lega. "Kalau gitu, kamu mau masuk atau masih pengin main di luar? Bunda lagi bikinin cookies buat kamu, nih. Takut gosong kalau kelamaan ditinggal."
"Main."
"Oke. Panggil Bunda, ya, kalau ada apa-apa."
Bersama apron mickey mouse-nya, Bu Na beranjak bangkit. Kupikir semua bunda pasti seperti Bu Na, menyayangi anaknya. Atau seperti Papa yang rajin membawakanku majalah Bobo dan ensiklopedia bekas setiap pulang dari menarik angkot. Mereka hangat. Kalaupun aku nakal, paling hanya dinasihati dan tak pernah dipukul.
Nyatanya, tidak demikian. Saat mataku kembali mengarah ke depan, kulihat Arfan sedang digebuk sandal oleh Nyai. Bokongnya yang diincar, tetapi kepalanya yang ditutupi pakai tangan.
"Aduh! Ampun, Eyang.... Ampun! Iya, Arfan janji enggak nakal lagi! Huaaa... sakittt!"
"Mau kasih contoh badung ke adikmu, heh? Mbok ya mikir kalau bapakmu ndak bisa dijadiin panutan, kamu yang gantiin!"
"Iyaaa, aku yang jadi panutan, Eyang. Aku panutaaaan." Arfan menyeru lantang. "Panutan sesaaat!"
Nama: Arfando Melvinaroullex
Panggilan: Arfan
Kesan pertama bertemu dengannya: Darah tinggi
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...