SURPLUS energi panas biasa terjadi saat sore sebelum matahari terbenam. Radiasi yang datang dari matahari melebihi radiasi yang dipancarkan oleh muka bumi. Udara terasa sangat gerah sampai manusia seakan bisa mengeluarkan api dari pucuk kepalanya.
Dikombo ucapan nyelekit Arfan, aku merasa sanggup meledakkan apa pun dengan energi panas dari hatiku sore itu.
"Apa maksud kamu?" Tidak pernah aku tahu Arfan ternyata sebajingan ini. "Elora udah jelasin semuanya dan kamu percaya gitu aja tanpa peduliin sudut pandangku?"
Kenyataan ini menikamku tepat di jantung. Sehebat apa pun persiapanku terhadap kedekatan Elora dan Arfan, nyatanya belum mampu mengurangi sakit hati yang ditimbulkan.
Mungkin, diam-diam aku masih menyimpan setitik harap Arfan akan memihakku. Di dunia ini, aku tidak punya banyak orang berharga. Yang memahamiku dan mau mendengar ceritaku.
Aku tidak pernah meminta seseorang untuk tinggal. Jika mereka ingin pergi, aku hanya akan melepaskan dengan senyuman. Jika mereka berbalik menjelek-jelekkan, aku hanya akan membiarkan. Aku sudah terbiasa ditinggalkan. Aku sudah terbiasa dianggap tidak normal. Aku sudah terbiasa dipinggirkan.
Namun, kali ini, untuk pertama kalinya, aku ingin orang yang kusukai memilihku. Choose me. Choose me over everything. Bila perlu, aku akan memohon pada Tuhan setiap hari agar menjaganya di sisiku. Tidak apa-apa aku tidak memiliki apa pun asalkan aku punya dia. Tidak apa-apa semua orang meninggalkanku asal jangan dia.
"What's on your little head, hm?" Di luar dugaan, Arfan malah menjentik keningku. "Nara, saya percaya Elora yang mancing kamu duluan. Kamu enggak perlu jelasin apa pun. I trust you unconditionally. Itu maksud saya ngelarang kamu jelasin lebih lanjut."
Telunjuk Arfan menghapus bulir air mata yang lolos ke pipiku. Ia merogoh saku belakang celananya.
"Duh, saya enggak bawa saputangan. Kamu mau lap ingus ke baju saya aja enggak?" Arfan menyodorkan lengan kausnya. "Nih, Ra. Gratis. Puasin aja nangisnya. Saya temenin."
God, is this real? Si Paus tak seburuk dugaanku? Prasangkaku hanyalah manifestasi dari overthinking tanpa dasar?
Aku makin ingin menangis. Kali ini bukan karena nyesek, melainkan lega.
"You jerk!" Kepalan tanganku langsung memukul dadanya. "Jerk! Aku hampir aja bego-begoin karena ngira kamu kemakan omongannya Elora."
Senyum geli Arfan terbit. "I'm not that stupid, Nara." Ia biarkan aku memukuli dadanya. Tidak keras, tentu saja. Yang ada tanganku sakit sebab dadanya liat seperti papan. "Maaf, saya telat bales chat kamu. Dari semalem direcokin Deo mulu, makanya lupa lirik ponsel. Kamu pasti enggak enak banget ya nahan ini semaleman?"
"Biasa aja."
Aku menurunkan tangan. Sudah ketangkep basah nangis-nangis begini, ya kali aku ingin gadai harga diri dengan mengakuinya?
Arfan hanya terkekeh. "Iya, iya, paham. Intinya saya minta maaf, ya, Ra. Entah kamu kepikiran karena itu atau enggak," tuturnya sekali lagi. "Omong-omong, kamu udah makan? Ada waktu enggak buat nemenin saya bentar?"
"Ke mana?" Aku mengeluarkan kotak tisu dari laci dasbor. Penampilanku pasti berantakan sekali. "Kalau mau ketemu Elora, mending kamu sendirian aja sana. Aku males difitnah-fitnah lagi sama si anakonda itu."
Sontak Arfan tertawa. "Lih, enggak. Saya juga males ketemu dia lagi. Maksudnya nemenin saya fitting jas keluarga, Ra."
Jawaban sekaligus pengakuan Arfan sukses mengusir sisa kekalutanku. Beberapa menit yang lalu, aku menyaksikan sendiri Arfan dan Elora pegangan tangan. Skenario buruk di kepalaku menerka kemesraan mereka menandakan Arfan ingin balikan dengan Elora.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game to Make Him Fall [PROSES PENERBITAN]
RomanceDear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi statusmu sekarang diramalkan: 1. Jadian dengan Mas Crush Alasannya? Perempuan waras mana yang mampu me...