[Prequel Novel VOC Yogyakarta Tahun 2050]
[Jangan lupa vote dan komen, serta follow akun penulis sebelum membaca! Cerita ini hanyalah fiktif. Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca!]
Genre : Action, Thriller, dan Sci-Fi.
[Indonesian Genius Generati...
Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca, sebab ini hanyalah karangan fiktif! Dan apabila ada kesalahan, mohon untuk bantu diperbaiki.
Jika ada kesamaan pada nama tokoh, tempat, dan sebagainya, itu sepenuhnya ketidaksengajaan.
Jangan lupa untuk follow akun penulis, juga tinggalkan jejak vote dan komen! Terima kasih!
• • ✧ • •
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah mencari informasi melalui warga setempat, Kenzo kembali menampakkan diri sekitar lima belas menit dari waktu kepergiannya. Ia menghampiri keempat kawannya dengan raut wajah kepanasan; hidung dan dahi mengerut, serta kedua iris mata yang menyipit.
Lalu ketika sampai di depan keempatnya, pria tegas itu berkata, “Ada mushola, kok, deket sini. Kita tinggal jalan beberapa meter doang.” Ia menatap Harzan dan Valdi kala mengatakan hal tersebut. Kemudian, berganti menatap Melviano dan Aksa. “Kalian mau ikut atau nunggu di sini?”
Aksa dan Melviano membalas tatapan sang kawan, arkian saling mengadu pandang. Namun tak lama, Melviano membuka suara, “Gue tunggu sini aja juga enggak masalah. Bentar doang, kan?”
Disusul Aksa dengan maksud jawaban yang sama, “Iya, gue juga enggak masalah. Kalian, sok, sholat aja dulu. Gue sama Viano bisa mabar (main bareng) sambil nunggu kalian selesai.”
Kenzo pun mengindahkan kata-kata mereka. “Oke, deh. Telepon aja kalau ada apa-apa, ya.” Ia, Harzan dan Valdi kemudian berbalik badan dan melenggang pergi dari sana. Ketiganya berjalan beriringan menuju arah selatan di mana terdapat mushola sederhana yang katanya berimpitan dengan rumah warga.
Sedangkan Aksa dan Melviano, keduanya menatap punggung Harzan, Valdi dan Kenzo secara saksama. Sampai, ketiga kawannya itu pergi jauh, bahkan tak terlihat lagi punggungnya.
Dari sana, Aksa tiba-tiba bergumam, “Ngeliat dan ngedenger cerita Kenzo, gue jadi keinget sama kakek gue. Dia ngingetin gue sama masa-masa kecil gue yang sering banget diceritain tentang banyak hal yang berkaitan dengan Indonesia. Termasuk masa penjajahan Jepang. Gue jadi kangen sama kakek gue. Sayangnya, beliau udah hidup tentram bareng Tuhan.”
Perhatian Melviano seketika teralihkan. Ia tersenyum tipis, arkian kembali menatap ke arah depan. “Kenzo--si haus pengetahuan emang enggak pernah ngebosenin. Pasti ada aja hal yang dia bahas tiba-tiba.”
Aksa setuju, apa yang dikatakan kawannya itu sangatlah valid. “Kenzo ibaratkan reinkarnasi kakek gue. Enggak jauh beda.”
“Juga reinkarnasi ayah gue,” sambung Melviano.
Keduanya lalu spontan kembali bertatapan. “Jangan-jangan ....” Keduanya melotot bersamaan, lalu tak lama tertawa bersama pula.
“Kuping Kenzo seketika berdengung,” celetuk Aksa, disetujui oleh Melviano dengan anggukan dan senyuman tertahan.