"Lo pikir gue kayak gini karena gue beneran baik? Nggak, Kai." Lelaki bersarung batik berwarna marun itu terkekeh, meraih cangkir kopi dan menyesap isinya perlahan. Kakinya yang dinaikkan sebelah ke atas kursi kafe, membuatnya tampak amat santai. "Gue cuma cowok yang brengsek kalau udah keluar dan jadi anak baik-baik kalau di rumah, seenggaknya harus kayak gitu juga di lingkungan desa. Gue bawa beban image baik-baik orang tua gue soalnya."
Kaia terkekeh, sudah ia duga. Lelaki semacam Ugra bukan tipikal orang yang sekalem itu tentu.
"Masa-masa jadi anak rantau waktu kuliah, circle gue anak-anak yang ya ... kayak gitu, lah. Nongkrong nggak jelas sana-sini, ikut demo padahal nggak ngerti tujuannya, lebih sering jadi pemberontak kampus." Ugra mengisap batang candu di tangan, mengepulkannya ke udara perlahan.
"Tapi nggak pernah nyentuh alkohol, kan?" Kaia mengulurkan tangan, santai meraih buku catatan Ugra yang berisi hasil pembahasan keduanya malam ini.
Tawa lelaki itu pecah. "Nggak lah. Bukan karena takut dosa sih, lebih ke karena gue nggak tahan sama baunya. Bolak-balik ditawarin temen, tapi gue tolak."
Kaia mengangguk beberapa kali seraya menarik dua ujung bibir ke atas. "Good, berarti kenakalan lo masih wajar di batas toleransi gue. I never care sama bentuk kenakalan yang lain tapi nggak dengan alkohol dan main perempuan."
Lekat Ugra memperhatikan Kaia yang sibuk membaca kembali kesimpulan pembahasan mereka di bukunya.
"Demi mikul beban itu, kayaknya lo frustrasi banget, ya?" tanya Kaia tiba-tiba, membuat Ugra tersentak. Merasa tak mendapat respons, Kai akhirnya mengalihkan pandangan pada lelaki di seberang meja, tengah menatapnya dalam. "Kenapa?"
Embusan napas berat lolos dari bibir Ugra sebelum mengisap lagi batang nikotin dalam-dalam. "Kelihatan banget, ya?"
Hanya anggukan yang diberikan Kaia, tetapi itu cukup membuat Ugra tersentak untuk yang kedua kalinya. Siapa sangka bahwa Kaia menyadari itu sedang selama ini orang-orang selalu salah menilainya. Mereka yang mengenal Ugra selalu berpikir bahwa lelaki itu menjalani hidupnya dengan bahagia, menjadi seorang aktivis penggerak pemuda sebab dorongan hati. Rupanya, Kaia tak memandangnya demikian.
"Baru kemarin gue nangis di depan Ibu," ungkap Ugra tanpa ragu. Ia yakin Kaia tidak akan menghakiminya hanya karena pengakuan perihal menangis, terbukti dengan perempuan itu yang hanya mengangkat alis. "Gue payah ya, jadi cowok?" pancing Ugra untuk memastikan.
Pertanyaan itu justru membuat Kaia menyipitkan mata. Impulsif ia menutup buku gelatik di tangan, tak lagi berniat membaca sisanya. "Kenapa payah? Karena nangis? Nggak lah, sejak kapan nangis jadi patokan seseorang jadi payah? Wajar banget malah."
Ugra tertawa kecil dalam tundukan kepala, sebelum kembali menatap Kaia yang diam menunggu ia berbicara.
"Meskipun gue udah mati-matian buat jadi anak kayak yang orang tua gue mau, mereka tetep aja ngerasa kurang. Nuntut gue ngelakuin lebih, yang kadang menurut gue tuntutan mereka berlebihan dan di luar kemampuan gue. Sayangnya gue nggak pernah bisa nolak, Kai. Gue nggak pernah bisa ngomong ke mereka apa yang sebenernya gue mau, at least bilang kalau gue nggak nyaman sama kemauan mereka yang kerasa nyekik banget, sampai rasanya gue nggak bisa napas.
"Baru kemarin, gue lepas kendali dan ungkapin semuanya di depan Ibu. Dan begitu, gue berakhir nangis karena emosional. Setelah itu, gue ngerasa bersalah karena ibu gue langsung diem. Gue nggak tega."
Kaia menipiskan bibir.
"Gue nggak minta saran apa-apa kok, jangan gitu dong, tampang lo. Gue cuma butuh didengar, Kai. Asli, akhirnya gue bisa nyeritain ini ke orang lain, rasanya lega banget." Ugra tersenyum lebar. "Lo satu-satunya orang yang gue kasih tahu ini, gue percaya lo bisa nyimpen semuanya dengan baik."

KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
General FictionMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...