Surat yang Tak Pernah Sampai (Pada Ugra)

88 16 0
                                    

Pada satu titik, barangkali aku bisa abai atas apa yang sudah tercerai-berai. Saat itu, hadirmu tak lagi mendebarkan, senyummu tampak biasa saja tanpa kesan. Kucoba sekali lagi melucuti isi hati, mungkin kau masih betah di sana, tapi lagi-lagi tak kutemui apa-apa selain fakta bahwa aku sudah bisa menerima jika kita teman semata.

Lalu pada satu masa, tiba-tiba semua menghadirkan sesak. Luar biasa sesak. Seolah puing rusak yang sudah kutata semula kembali retak lalu luluh lantak. Rasanya sama seperti saat itu, saat pertama kali kutemui bahwa diriku jatuh pada pesonamu, lalu binasa sebab sadar bahwa aku hanya tempat singgahmu ketika mendapat pilu. Terlambat sadar, bahwa kau punya rumah guna menetap dengan mantap tanpa berniat ke arah lain menatap.

Pada masa itu, memori yang kukira hilang bak dihamburkan dengan gamblang, garang menerjang dan membuatku kelimpungan menahan gamang. Ucapanmu perihal mengajakku pergi menunggu gaji, hingga keluhmu sebab hujan mengancam kita gagal pergi. Semuanya kembali, rupanya memori itu hanya sembunyi di bilik kecil kepala yang sudah lama tak kujadikan tempat melarikan diri.

Pada titik yang sama, ingin rasanya aku menjadi egois. Melabelimu sebagai hak milik yang tak boleh siapa pun usik. Termasuk dia, seseorang yang sangat ingin kurebut miliknya. Lucu, bukan? Kita bukan apa-apa dan tak pernah jadi apa-apa, tapi tatkala suaramu sampai ke telinga, kacau sudah. Usahaku melupa langsung kocar-kacir parah. Sedang, kau tetap senyum semringah dengan dia yang kaujadikan sebenar-benarnya rumah.

Rasanya ... sangat sesak. Namun saat ini sampai padamu, kumohon jangan merasa bersalah. Aku tegaskan, aku bukan gadis payah yang akan goyah hanya karena sahabat lelakinya ... mendapat pundak lain untuk bersandar dengan nyaman hingga melupakan beban. Pundak yang pemiliknya lebih tabah menghadapimu yang kadang seperti bocah, manja dan suka gegabah. Pundak yang lebih mampu menyangga tangismu dibanding aku yang serba kurang dan suka protes ini-itu.

Berbahagialah! Tak apa, aku tak apa menambah sibuk agar bisa melupa, daripada memikirkanmu semalam suntuk dan membuatku gila.

Dariku, Arundaya Kaia.

Untukmu, Maula Ugra Hayyin.

Amaranteya

Arundaya KaiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang