Seperti tak ada yang terjadi, esok harinya Kaia beraktivitas seperti biasa. Berkutat di depan monitor laptop sampai zuhur, mengajar les anak-anak sampai jam 15.00 lanjut mengajar Diniyah sampai menjelang Magrib. Obrolan dengan Farid semalam jelas tak memberi efek apa pun padanya.
Di jam istirahat mengaji, anak-anak dipulangkan sebab sang kepala madrasah mengadakan rapat dengan dewan asatidz dan asatidzah. Membahas kaldik di tahun ajaran baru ini setelah libur panjang dua minggu yang lalu. Banyak yang mesti mereka persiapkan untuk efektifitas belajar, terutama masalah keuangan.
Usai rapat, tersisa Pak Ibas, Kaia, juga Danar yang memang sudah ikut mengajar lebih dulu dibanding Kaia. Sang sepupu itu mengampu Bahasa Arab.
"Mas Danar, kalau mau pulang dulu silakan. Sebetulnya saya masih ada perlu dengan Mbak Kaia, urusan pribadi."
Danar buru-buru mengangguk, lantas pamit dan berlalu.
Sementara itu, Kaia justru menautkan alis, mengernyit dalam. "Ngapunten, memang ada perlu apa sama saya, Pak?"
"Masalah yang sama, Mbak Kaia. Perihal ajakan taaruf yang beberapa hari lalu titip disampaikan melalui saya."
Kaia menahan napas, apa lagi ini?
"Jujur saja, kemarin saya diajak ngobrol lagi sama orangnya. Sepertinya memang sudah tidak memungkinkan melalui saya, dia meminta langsung nomor keluarga Mbak Kaia yang bisa dihubungi. Tapi belum saya beri karena saya kan belum minta izin sama Mbak Kaia."
Baiklah, ini semakin rumit saja.
Kaia menarik napas dalam dan mengembuskannya kuat-kuat. "Sebelumnya, boleh saya tahu siapa orangnya? Nama, atau mungkin foto jika Bapak punya. Saya benar-benar tidak tahu siapa dia dan rasanya aneh jika dia bilang dia senior saya sementara saya nggak kenal."
Pak Ibas langsung sibuk mengutak-atik ponsel, mencari kontak orang yang dimaksud. Seingat, ada foto profil yang bisa ditunjukkan pada Kaia.
"Ini, Mbak." Pak Ibas mengangsurkan ponselnya. "Namanya Fajri."
Berapa kali pun Kaia melihat foto lelaki bernama Fajri itu, ia tetap tak ingat bahwa lelaki itu seniornya, benar-benar buntu. "Rasanya saya benar-benar nggak kenal." Kaia menggeleng.
"Jadi, gimana, Mbak? Masalah nomor."
"Begini saja, Pak. Jangan nomor orang rumah, beri saja nomor saya langsung. Saya nggak mau ada orang antah-berantah yang tiba-tiba sampai ke orang tua saya sedangkan saya sendiri malah nggak mengenalnya. Biarkan saya kenal sama dia lebih dulu."
Pak Ibas tersenyum. "Baik kalau begitu, Mbak. Nanti saya sampaikan, ya. Kalau begitu, monggo kita pulang."
Kaia mengangguk, membiarkan lelaki sepertiga abad itu pulang lebih dulu. Dihelanya napas panjang sebelum menjatuhkan kepala ke atas tangan yang sudah tertelungkup di atas meja. "I am in rush."
Benar saja, malam harinya usai fokus pada acara maulid yang berjalan lancar, Kaia baru membuka ponsel dan menemukan satu pesan dari nomor asing. Tertera masuk dua jam lalu.
Sambil bersandar di tiang musala, melipir sendiri sedang yang lain masih asyik berbincang seraya menghabiskan sisa kopi, Kaia membalasnya setengah enggan.
Hanya, "Wa'alaikumussalam. Iya, salam kenal."
Kaia memejamkan mata kemudian, membiarkan ponsel tetap terbuka pada laman percakapan. Ia kira, tak akan mendapat balasan secepat itu, rupanya ia salah. Baru tiga puluh detik memajamkan mata, dirasakannya ponsel dalam pangkuan bergetar.
"Apa kamu sibuk? Ada yang ingin kubicarakan". Begitu yang tertulis di sana.
Kaia tak langsung membalas, memilih memejamkan mata kembali. Perlahan, hilir mudik ingatan tentang obrolannya dengan Farid semalam, obrolannya dengan Pak Ibas beberapa waktu lalu, juga momennya bersama lelaki itu, menyeruak dalam kepala. Ia harus bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
Ficción GeneralMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...