Bab 10

94 24 3
                                        

Tanpa banyak bicara, Ugra menyerahkan ponsel beserta tas selempang miliknya yang baru dilepas pada Kaia. "Titip, tolong bawain."

Melihat itu, Uswa dan Ayu seketika saling pandang, melemparkan tanya tanpa kata lewat tatap mata. Kaia menyadarinya.

Saat Ugra sudah berlalu, Kaia berujar, "Kenapa?"

"Mas Ugra sepercaya itu sama Mbak? Sampai nitipin HP." Ayu bertanya dengan alis tertaut. Rasa-rasanya jika hubungan Ugra dan Kaia hanya sebatas rekan organisasi terlalu tak mungkin.

"Emang gue bakal apain HP-nya? Dia titip, ya gue cuma bakal bawain, nggak bakal lah gue buka-buka, gue tahu kalau isi HP itu privasi pemiliknya." Di akhir kalimat, Kaia mengedikkan bahu tak acuh. Toh, ia memang tak ada niatan mengutak-atik ponsel Ugra meski bisa, tak minat.

Sambil tertawa, Uswa membalas, "Iya, Mbak. percaya, kok."

Yang lain ikut kembali ke tugas masing-masing. Uswa dan Ayu disusul Kaia menuju ruang transit panitia, menyelesaikan kegiatan yang semula tertunda: menstaples kardus-kardus snack untuk para sesepuh juga tamu undangan yang menjadi orang depan.

Dalam ruangan kelas itu—mereka memang meminjam halaman sebuah Madrasah Ibtidaiyah sebagai tempat pelantikan—mereka sedikit berbincang, berakhir dengan Kaia yang ikut membantu tentu.

"Mbak Kaia gimana bisa buat Mas Ugra anteng lagi kayak tadi?" Ayu bertanya, tangannya sibuk melipat kardus-kardus kecil di pangkuan.

Kaia langsung menautkan alis, sedikit memiringkan kepala. "Anteng gimana maksudnya? Kan Ugra emang pembawaannya begitu."

"Lo nggak tahu aja Kai, gimana tingkah dia sejak pagi di sini," sahut Lita, "kita semua sampai ngeri sendiri."

"Dia ngapain kalian?"

Lita kembali menjawab, "Bayangin aja, semua orang kena semprot. Nggak salah aja dicari-cari kesalahannya. Apalagi tampangnya yang kelewat datar itu, tahu sendiri auranya Mas Ugra tuh udah menyeramkan, ditambah nggak ada senyum-senyumnya sama sekali kayak biasa. Udah, kelar mental kita."

"Mbak Faiza sama Aisy aja sampai gemeteran tadi Mbak, waktu dimarahin sama Mas Ugra. Nggak bentak-bentak sih, tapi kan omongannya Mas Ugra kayak gitu, pedes banget, nusuknya sampai ke ulu hati. Terus, berakhir digeret ke rumah, diomelin lagi paling di sana. Gue jadi kasian sama mereka," imbuh Uswa.

"Makanya kita kepo, kenapa Mas Ugra bisa adem lagi abis ketemu lo, Mbak. Lo kasih sajen apa?" tukas Ayu.

Untuk sejenak Kaia terkekeh. Sajen katanya, memangnya Ugra doyan kembang tujuh rupa atau bau dupa?

"Dia nggak senyeremin itu, loh, aslinya. Cuma ya emang situasi tadi bisa berakibat fatal buat acara kita, jadi sikap defensifnya bener-bener in a high mode banget. Apalagi dia ketua, tekanannya lebih besar dari kita-kita. Ditambah, warga sini familiarnya ya muka dia, kalau ada apa-apa sama acara, meskipun itu kesalahan pribadi per sie, tetep dia yang bakal kena," jelas Kaia.

Tiga perempuan yang lain mengangguk setuju. Memang, di antara yang lain, Ugra yang paling akrab dengan warga sekitar. Bukan akrab yang terkenal ramah tentunya, lebih pada dijadikan sasaran jika ada yang tidak beres. Apalagi Ugra dikenal sebagai anak organisasi yang jam terbangnya tak hanya setahun dua tahun. Beban ekspektasi yang ditanggung jelas tak mudah, otomatis ia akan selalu dituntut sempurna dalam banyak hal.

"Gue sadar sih, Mbak. Reputasinya Mas Ugra bisa bener-bener hancur kalau masalah tadi nggak ada titik terangnya."

"Ini bukan masalah reputasi Ugra sejujurnya," potong Kaia, "dia justru mikirin kalian. Bolak-balik dia ngomong ke gue, dia nggak masalah namanya jelek, nggak masalah kalau dapat omongan buruk dari orang-orang. Yang dikhawatirin itu nama baik organisasi, dia nggak mau juga kalau kalian dapat judge buruk dari masyarakat, makanya dia semarah tadi."

Arundaya KaiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang