Part ini akan lebih banyak narasinya
-o0o-
Pagi-pagi sekali Kaia sudah dibuat uring-uringan karena pesan mendadak yang dikirimkan oleh Pak Ibas. Di sana tertulis bahwa Kaia harus ikut menghadiri acara rapat Korwil FKDT kecamatan tempatnya tinggal. Katanya, mereka akan membahas Ulangan Akhir Semester anak-anak diniyah juga pembentukan pengurus DPAC FKDT agar kecamatan mereka memiliki hak suara dalam pemilihan dan pembentukan DPW FKDT Jateng hingga nasional tahun depan.
Kaia super duper malas jika diminta ikut rapat begituan. Bukan hanya karena peserta rapat yang jauh lebih tua daripada dirinya, ia juga segan karena beliau-beliau sudah pasti ulama di desa masing-masing, Kaia segan. Di samping itu, ia juga selalu waswas jika mendengar kata pembentukan pengurus, seolah ada bayang-bayang bila dirinya akan diikutkan dalam hierarki, Kaia sungguh tak mau terseret lebih dalam.
Namun, apa mau dikata, membantah permintaan sang kepala diniyah lebih tak mungkin lagi ia lakukan. Akhirnya, ia hanya bisa menyetujui, meminta titik koordinat lokasi diadakannya rapat.
Pukul sembilan pagi sampai di sana, rapat langsung dimulai. Yang disyukuri Kaia, setidaknya ada empat perempuan seusianya yang juga ikut dalam rapat. Setidaknya mereka bisa sedikit berbasa-basi daripada Kaia menjadi pajangan saat para tetua dan orang-orang berpengaruh di depan sana saling adu gagasan.
"Mbak Kaia gabung ngajar diniyah udah lama?" tanya Fitri, kenalan baru Kaia.
Mencoba mengingat satu momen, akhirnya Kaia angkat bicara, "Itungannya baru sih, Mbak. Dua setengah tahunan."
"Loh, berarti sama kayak saya. Saya juga sekitar dua setengah tahun. Sorry sebelumnya Mbak, Mbak Kaia ini sudah lulus kuliah?"
"Belum," jawab Kaia santai, "aku nggak kuliah, Mbak. Lagi usaha ngajuin beasiswa, sih."
"Wah, keren-keren. Semoga lolos ya, Mbak."
"Aamiin. Makasih, Mbak Fitri."
"Baiklah, kita langsung mengajukan nama-nama yang bisa masuk dalam kepengurusan DPAC mendatang." Pak Ibas yang memang menjadi pemimpin rapat pagi ini mengambil alih semua atensi. Ia menuliskan beberapa posisi disusul nama-nama di papan tulis.
Bagian penasihat, ketua, wakil ketua masih aman. Para orang tua itu rupanya iya-iya saja ketika namanya disertakan. Namun, tidak bagi Kaia dan Fitri. Dua perempuan itu seketika menahan napas saat nama masing-masing ditulis di samping wakil sekretaris juga bendhahara. Apa ini?
"Ngapunten, Pak. Kulo mboten kerso dados bendhahara, monggo tiyang sanes mawon ingkang sampun gadhah pengalaman." Fitri langsung angkat bicara begitu Pak Ibas kembali duduk.
Kaia hanya bisa menggeram frustrasi, masalahnya ia juga ingin melakukan hal yang sama, protes, tetapi ia tidak bisa menolak. Sekali lagi, ia terbentur prinsip sami'na wa atho'na, begitu-begitu, sebelum menjadi rekan kerja, Pak Ibas adalah guru ngajinya dulu. Kaia hanya bisa pasrah.
"Tenang, Mbak Fitri. Di sini kita sama-sama belajar, insyaallah kita saling bantu," balas seorang lelaki yang Kaia tahu bernama Pak Chambali.
Untuk sejenak, Fitri dan Kaia saling pandang dan bersamaan mengerang sambil mengembuskan napas panjang. Memberi semangat satu sama lain lewat tatap mata. Kekhawatiran Kaia menjadi kenyataan. Bagaimana ia malah terlibat urusan dengan orang-orang penting yang penasihatnya saja pendakwah kondang di kecamatan, Kaia sungguh malang. Prinsipnya untuk tak dikenal kacau-balau.
Pulang-pulang, Kaia langsung tepar. Bukan karena fisik, tetapi pikiran yang kelewat penuh. Untung saja tadi mendapat uang saku, lumayan, dapat dipakai membeli es cappucino cincau di cuaca yang amat menyengat ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/347785383-288-k401458.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
General FictionMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...