Bab 27

91 18 11
                                        

"Lo ngilang ke mana aja, Kai?" tanya Ugra begitu Kaia muncul dalam forum idarahan malam ini. "Nggak pernah ikut ngumpul, rapat juga nggak dateng. Pura-pura sibuk kan lo? ngaku!"

"Beneran sibuk!" jawab Kaia singkat, menatap Ugra sekilas dengan enggan sebelum beralih pada yang lain.

Sudah lumayan banyak yang hadir saat ini, padahal menilik dari waktu, masih ada sepuluh menit tersisa sebelum acara dimulai. Agenda idarah malam ini bukan tahlil seperti periode-periode sebelumnya, Ugra sengaja merancangnya berbeda. Ya ... merancang dengan Kaia juga, sih, dulunya. Sebuah diskusi yang dikemas dalam kacamata Islam juga umum. Sudah berjalan dua kali sejauh ini. Yang pertama dulu tak terlalu lancar berjalan, konsep kurang matang. Namun malam ini, Ugra menyiapkannya jauh-jauh hari dengan tema "Dedikasi Pemuda Negeri" merujuk pada Hadits khoirunnas anfauhum linnas.

"Liar!" cibir Ugra.

Kaia tak mau menanggapi, tak penting. Lagipula tekadnya bulat, jika tak penting dan tak ada kaitannya dengan kegiatan organisasi, ia akan mengabaikan Ugra, menciptakan jarak sejauh mungkin. Ia tak ingin rumor buruk beredar.

"Bukan sibuk kali Mas, sakit hati tuh Mbak Kaia karena lo tiba-tiba punya pacar."

Sakit! Sial! Celetukan Ayu itu menembus tepat ke ulu hati, tetapi sekali lagi, Kaia tak mau peduli. Ia tak menampilkan ekspresi apa pun untuk mengendalikan asumsi yang berkemungkinan akan liar di antara mereka semua dan membuat situasi menjadi tak nyaman.

Ugra juga kelihatan tak mau ambil pusing dengan ucapan Ayu, tetap santai di tempatnya, bersandar pada tiang teras musala.

"Ugra sama ceweknya bukan urusan gue," jawab Kaia santai, mati-matian menahan diri sejujurnya. Ia lantas beralih pada Hasan. "San, pengajian kayak di tempat lo kemarin abis budget berapa? Bersih, ya."

Hasan memicingkan mata. Posisinya yang berada di tiang lain, membuat lelaki itu dapat sedikit melirik Ugra. "Nggak sampai 15, kenapa? Mau ngadain?"

"Tanya aja, sih. Soalnya bapak-bapak di kampung gue ada wacana mau ngadain pengajian gitu buat peringatan Muharram depan," jelas Kaia seadanya.

"Kenapa lo nggak ajak anak-anak muda aja? Kebetulan nih, anak-anak kampung gue udah pada nabung buat pengajian lagi. Tahun depan, bulan Februari. Apa mau sekalian kita collab aja? Nanti lokasinya kita buat di tengah-tengah."

Pembahasan itu membuat Kaia larut, tak peduli bahwa kini semua orang sudah ikut mencuri dengar akan obrolannya dengan Hasan.

"Gila aja Februari, mepet banget. Pemuda kampung gue bisa gumoh, apalagi kalau lo sama temen-temen lo wacanain acara itu nggak main-main budgetnya. Bisa tepar gue nyari dana."

Hasan terkekeh. "Ya makanya nabung. Gue kan udah bilang tadi, mulai nabung dari sekarang. Emang lo mau nabung berapa lama? 2-4 tahun boleh tuh, kita rancang yang mateng, Az-Zahir sekalian. Kan kita harus book jauh-jauh hari."

"Gilaaa si Hasan, mah." Kaia melotot, membuat Hasan tergelak. "Empat tahun mah yang ada bukan nabung buat ngadain pengajian gede, yang ada gue nabung buat resepsi."

"Kayak udah ada calon aja lo!" cibir Hasan, kembali terkekeh.

Kaia sadar, sejak awal Ugra memperhatikan keduanya diam-diam. Namun, peduli apa? Kaia abai.

"Jangan salah, San. Gitu-gitu mbak gue buaya betina pada masanya," sambar Danar.

"Sialan lo!" Kaia tergelak. "Sejak kapan gue jadi buaya?"

"Halah, jujur aja sih, Mbak. Kehilangan Mas Ugra mah lo masih ada cadangan banyak, iya, kan?"

Kaia benar-benar menyemburkan tawa kencang. Entahlah menanggapi candaan Danar atau justru menertawai dirinya sendiri, Kaia bingung.

Arundaya KaiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang