"Mbak Kaia nanti siang free?" Begitu isi pesan yang baru diterima Kaia dari Uswa.
Tak ingin repot-repot mengetik, perempuan itu menyentuh ikon gagang telepon. Pada dering kedua, panggilannya langsung diangkat, dan mulai terdengar suara Uswa mengucap salam di seberang.
"Wa'alaikumussalam, Wa," jawab Kaia, "abis Zuhur gue ngajar anak-anak nih, kayak biasa. Ada apa?"
"Ini loh Mbak, undangan buat anak-anak kampung lo. Undangan per wilayah udah diambil sama koordinator masing-masing, tinggal wilayah lo yang undangannya masih di rumah gue. Soalnya Danar gue hubungin katanya masih di kampus dan baliknya sore. Padahal hari ini udah harus kesebar semua undangannya. Soalnya kan acara pelantikan tinggal besok malem."
"Gini deh, abis ngajar nanti gue langsung ke rumah lo buat ambil surat, terus gue bagiin. Jam 3-an paling." Sambil menggulir mousepad laptop baby pink-nya, mata Kaia tak lepas dari deretan huruf di monitor. "Soalnya kalau sekarang nggak memungkinkan, masih ngejar target kerjaan ini, deadline Zuhur."
"Oke, nggak apa-apa. Ntar kalau mau ke rumah gue, kabarin dulu ya, Mbak. Kali aja gue lagi nggak di rumah."
"Siap. Udah dulu ya Wa, assalamu'alaikum." Panggilan terputus begitu Uswa membalas salam.
Baru saja meletakkan ponsel kembali ke atas meja samping laptop, benda pipih itu berdering. Kaia langsung memejamkan mata dan mengembuskan napas kesal. "Siapa sih, astaga!"
Meski begitu, perempuan tersebut tetap meraih ponsel miliknya dan melihat nama si pemanggil: Mas Ugra Hayyin, begitu yang tertulis di sana. Tentu, meskipun Kaia biasa memanggil Ugra tanpa embel-embel "Mas", tetapi untuk nama kontak ia selalu menuliskan bagaimana adanya ia menghormati orang tersebut. Lagipula, ia terlalu malas mengganti nama kontak seseorang meski situasi berubah.
Kaia mengangkat panggilan ogah-ogahan, lagi-lagi pekerjaannya terinterupsi. "Assalamu'alaikum, ada apa?"
Suara di seberang tak terlalu jelas untuk sesaat meski Kaia tahu Ugra membalas salamnya. Seperti suara seseorang yang tengah mengendarai motor, penuh gemuruh.
"Di mana?" tanya Ugra, lebih jelas kali ini.
"Rumah, kenapa?"
"Oke, bentar lagi gue sampai depan. Ini udah di tikungan deket rumah lo."
Mata Kaia membulat. Segera ia bangkit dan serampangan mencari cardigan juga jilbab di lemari. Saking paniknya, jari kelingking kaki Kaia sampai terantuk kaki ranjang, mendesis sambil terus melangkah. "Ngapain ke rumah gue?" teriaknya.
Tikungan yang dimaksud Ugra benar-benar dekat rumahnya, bagaimana ia tak panik. Sekali lagi Kaia mendesis.
"Ada perlu bentar." Suara gemuruh berhenti bersamaan dengan suara deru motor di depan rumah Kaia.
Benar, kan? Lelaki itu sudah sampai dalam waktu kurang dari semenit.
Geradakan Kaia keluar sambil memegangi jilbab di bawah dagu, tak sempat menyematkan peniti. Begitu membuka pintu, ia semakin dibuat gondok melihat tampang Ugra yang tersenyum tengil tanpa rasa bersalah.
Kaia mematikan sambungan telepon yang masih tersambung. "Ngapain ke sini? Nggak bilang-bilang lagi."
Pemuda itu turun dari atas motor, langsung duduk di teras tanpa menunggu dipersilakan. "Kopi dulu kek, Kai. Jangan ngomel dulu coba!"
Perempuan itu berdecak. "Emang tamu nggak tahu diri lo, Gra."
Meskipun begitu, Kaia tak urung berbalik juga, hendak membuatkan kopi untuk pemuda itu.
"Balik ke sini sekalian bawa laptop lo ya, Kai!" Kaia tak jadi melangkah mendengarnya. Baru akan protes, Ugra sudah melanjutkan, "Satu lagi, pakai kerudung yang bener! Pengen gue jambak lihatnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Arundaya Kaia
General FictionMager dan suka rebahan menjadi sifat yang sudah melekat kuat dalam diri Kaia. Setidaknya, begitu kata beberapa orang yang mengenalnya. Padahal bagi sebagian yang lain, Kaia adalah perempuan easy going, yang diajak nongkrong di mana pun dan kapan pun...